Minggu, 21 Juni 2009

DEMOKRASI : Cara Memilih Pemimpin Goblok Tanpa Harus Saling Membunuh!

Ingin menjadi pemimpin atau khalifah adalah sudah menjadi kodrat manusia sejak dari awalnya. Karena ingin menjadi pemimpinlah kita semua berada dalam dunia ini. Adam AS. kakek moyang kita itu menyatakan kesanggupannya kepada Allah SWT Tuhan Semesta Alam untuk menjadi pemimpin di atas dunia ini. Dan Allah mengatakan kesanggupan Adam AS. adalah suatu hal yang bodoh.

Q.S Al-Ahzab 72 : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya.

Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. Karena sudah menjadi kodrat dasar manusia, maka wajar saja apabila hampir semua manusia ingin menjadi pemimpin atau berani menerima amanat. Bahkan untuk berebut mendapatkan amanat itu mereka menghalalkan segala cara, betapapun konsekuensi yang akan mereka terima di dunia dan akhirat.

Seorang Islam yang baik akan selalu berusaha untuk mengontrol nafsu untuk menjadi pemimpin itu, mengingat konsenkuensinya yang berat di dunia dan akhirat. Kalaupun dia ingin menjadi pemimpin, maksimal yang dilakukannya adalah dalam ruang lingkup yang kecil (pemimpin rumah tangga / ketua RT / ketua organisasi kecil). Atau kalau menjadi pemimpin dalam ruang lingkup yang besar (menjadi presiden misalnya) maka itu adalah suatu hal yang terpaksa. Terpaksa oleh karena Allah Tuhan Semesta Alam menginginkan demikian. Berdasar pengertian inilah maka setelah Nabi Muhammad SAW wafat empat orang sahabat nabi yang besar (Abu Bakar, Usman, Umar, Ali) saling menolak untuk dijadikan pemimpin umat Islam. Hanya karena terpaksalah Abu Bakar Siddiq mau menerima tongkat komando sebagai pemimpin umat Islam menggantikan Nabi Muhammad SAW.

Para pemikir dunia abad ke 18 terutama yang dimotori para pemikir Yahudi, berusaha mencari formula bagaimana seseorang dapat menjadi pemimpin tanpa harus berperang dan bunuh-mebunuh (dalam arti fisik/nyata). Akhirnya mereka menemukan suatu sistem yang kemudian dinamakan sistem demokrasi. Di mana dalam sistem itu rakyat suatu negara yang telah dianggap dewasa, baik berilmu maupin tidak memiliki hak suara yang sama untuk mamilih seorang pemimpin. Dengan cara seperti ini bunuh membunuh atau berperang dalam arti gaib/tidak nyata tetap terjadi dan harus dilakukan kalau ingin menjadi pemimpin. Para pemilih atau pengikut dari calon pemimpin akan berperang untuk menggolkan jagonya supaya dapat menjadi pemimpin. Menjadi pertanyaan bagi kita pemimpin seperti apa yang didapatkan dari cara seperti ini. Mungkin yang didapatkan dengan cara seperti ini menurut hemat kami jelas adalah pemimipin yang disenangi oleh sebagian besar (mayoritas) rakyat, bila demokrasi berjalan dengan benar-benar baik. Dan konsekuensi dari cara berpikir seperti ini adalah bila mayoritas dari rakyatnya bodoh maka pemimpin yang disenangi dari rakyat seperti itu adalah pemimpin yang bodoh, misalnya bintang-bintang film, para badut, dsb. Bila mayoritas rakyatnya penakut serperti kambing, maka pemimpin yang disenangi oleh masyarakat seperti itu adalah seekor kambing, misalnya para pemimpin kita yang selalu mengikuti petunjuk dari Amerika betapapun itu sangat menurunkan wibawa bangsa. Siapa yang paling diuntungkan dengan sistem demokrasi seperti ini ? Yang paling diuntungkan dengan sistem seperti ini adalah para pemilik modal dan para orang-orang kaya. Karena dengan sistem demokrasi yang baik, untuk menjadi pemimpin diperlukan uang yang sangat banyak. Dengan bersatunya para pemilik modal, maka mereka dapat menentukan siapa yang menjadi pemimpin. Mereka akan nmelakukan strategi atau kerjasama lintas sektor antara para pemilik modal, pers, ulama, intelektual tokoh-tokoh penting/key person, bahkan kalau perlu dengan para preman pasar. Dalam jaman yang serba materialistis seperti ini tidak ada yang dapat menahan kekuatan uang. Dan hasil dari kerjasama lintas sektor ini adalah mengorbitkan pada masyarakat seorang pemimimpin yang seolah-olah sangat dibutuhkan oleh bangsa sehingga berbondong-bondonglah masyarakat memilih pemimpin itu. Dan itulah dasar dari kebangkrutan dunia ini. Bangkrut dalam hal ekonomi dan moral. Tidak ada yang paling diuntungkan dari sistim. demorasi seperti ini kecuali para pemilik modal yang paling kuat di atas bumi ini. Dan itulah orang-orang Yahudi .. Oleh karena itu, kalau kita melihat dunia ini dikuasai orang-orang Yahudi maka itu wajar saja. Dengan teori seperti itu, kita dapat mengerti kenapa koruptor-koruptor kakap Indonesia tetap berkeliaran dan dapat korupsi terus-menerus siapapun pemimpin Indonesia. Adanya fatwa MUI yang menyatakan bawa golput itu haram, hanya akan menguntungkan orang-orang jahat itu. Harusnya MUI juga menyatakan pada masyarakat untuk memilih partai/orang tertentu sebagai pemimpin. Sehingga bila MUI memang mempunyai kekuatan dan murni, maka kekuatan itu akan bersaing atau minimal mengurangi kekuatan para pemilik modal. Sedangkan untuk para intelektual atau orang-orang berilmu, sudah sepatutnya mereka golput kalau mereka yakin tidak ada partai atau pemimpin yang baik. Memilih yang baik diantara yang jelek, tetaplah itu jelek. Murka Allah pada suatu bangsa oleh karena murka Allah pada pemimpinnya. Karena itu, wajar saja bila rakyat suatu bangsa binasa karena murka Allah. Dan yang paling menyakitkan adalah rakyat suatu bangsa binasa, tetapi pemimpin yang zalim itu tetap hidup enak hingga akhir hidupnya bahkan diusulkan untuk diberikan gelar pahlawan.

1 komentar:

  1. Bagaimana syariat islam mengatur mekanisme pemilihan pemimpin? Saya yakin islam juga tidak menghendaki kekuasaan diwariskan turun temurun

    BalasHapus