Minggu, 21 Juni 2009

Bagaimana Memilih Pemimpin Menurut Islam

Dalam pemilihan seorang pemimpin atau khalifah, ada tiga golongan manusia yang terlibat:

1. Calon Khalifah yang memenuhi syarat
2. Anggota pemilih yang disebut ‘Ahl al-Hal wa al-’aqd‘
3. Serta orang Muslim kebanyakan

Syarat-syarat menjadi anggota ‘Ahl al-Hal wa al-’aqd’ agar layak memilih ketua negara adalah:

1. Adil, sebagaimana sifat adil yang diperlukan pada Khalifah.
2. Berilmu, yaitu memiliki ilmu yang membuatnya mampu menilai calon yang layak memegang jabatan ketua negara.
3. Bijaksana, yaitu mampu memilih calon yang terbaik untuk kebaikan dan kemaslahatan umat.

Tugas anggota ‘Ahl al-Hal wa al-’aqd’ adalah memilih dan menentukan calon yang layak untuk jabatan ketua negara. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah anggota pemilih tersebut.

1. Tidak sah menjadi calon ketua negara apabila tidak disetujui oleh semua anggota pemilih dari setiap negeri. Alasannya supaya persetujuan tersebut berlaku secara keseluruhan dan penyerahan kekuasaan kepada calon pemimpin tersebut berlaku secara ijmak. Namun pendapat ini bertentangan dengan kasus pemilihan Khalifah Abu Bakar, dimana beliau telah dipilih oleh anggota yang hadir saja.
2. Jumlah minimum anggota pemilih adalah lima orang dan semuanya setuju dengan pemilihan tersebut. Atau hanya seorang saja yang membuat pilihan, sedangkan yang lainnya tinggal bersetuju dengan pilihan orang pertama.
3. Pemilihan dilakukan oleh tiga anggota saja, dimana seorang akan memilih dan yang lainnya tinggal menyetujui saja. Mereka dianggap sebagai seorang Hakim dan dua orang saksi.
4. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan calon khalifah cukup dibuat oleh satu orang saja.

Setelah anggota pemilihan memilih calon-calon pemimpin, maka diperlukan persetujuan terbuka dari mayoritas umat. Kalau ini tidak dilakukan maka akan menyebabkan kekacauan dalam masyarakat.

Peralihan Kepemimpinan

Pemilihan pemimpin negara Islam tidak selamanya melalui pemilihan umum seperti yang telah dijelaskan di atas. Peralihan pemimpin negara bisa terjadi dengan:

Pertama, menyerahkan kekuasaannya kepada penggantinya sebelum dia meninggal. Sebagian ahli fiqh menerima cara ini dengan bersandarkan kepada Abu Bakar yang menyerahkan kekuasaannya kepada Umar dan juga ketika Umar menyerahkan kekuasaannya kepada anggota ahli syura. Peralihan kekuasaan ini dianggap ijmak.

Kedua, peralihan kekuasaan dalam bentuk warisan apabila terjadi dalam negara yang berbentuk kerajaan. Pemindahan kekuasaan dengan cara ini dinggap sah oleh para ulama. Contohnya apa yang terjadi di negara Arab Saudi atau Brunai Darussalam. Masalah rakyat akan makmur dengan cara ini, itu cerita lain. Kalau kebetulan rajanya adil, maka rakyatnya menjadi senang. Sebaliknya kalau rajanya zalim, maka rakyat tidak bisa berkata apa-apa.

Ketiga, apabila kekuasaan negara dipegang oleh orang yang memiliki kekuatan dan fasiq sehingga mengangkat dirinya sebagai ketua negara. Menurut Abu Ya’ala al-Fara, pemimpin tersebut adalah sah tapi dikira sebagai keadaan darurat. Menurut Imam al-Ghazali, barang siapa yang melantiknya, maka pemerintahannya adalah sah, sebagaimana sahnya pemerintahan orang yang zalim (bughat).

Keadaan tersebut terjadi apabila negara diambil alih oleh seseorang yang mempunyai kekuatan yang sangat besar, misalnya mampu mengendalikan militer di negara tersebut. Jadi apabila orang tersebut mengangkat dirinya sebagai pemimpin, maka pemerintahannya adalah sah, walaupun pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan yang zalim dan fasiq. Kalau mau menggantikan diktator tersebut, pastikan supaya memiliki kekuatan yang memadai. Kalau tidak, proses penggantian dikator yang gagal ini juga akan merugikan masyarakat awam.

Kondisi di Indonesia

Setiap partai yang memiliki suara mayoritas boleh mengajukan calon presidennya masing-masing. Kalau anggota-anggota partai tersebut memenuhi syarat seperti anggota pemilih ‘Ahl al-Hal wa al-’aqd’, maka tidak perlu dikhawatirkan mengenai calon-calon pemimpin yang diajukannya. Sayangnya kebanyakan anggota-anggota partai sekarang tidak bersih dan tidak memiliki pengetahuan untuk memilih calon presiden yang bagus. Akibatnya rakyat disodori dengan calon-calon pemimpin yang tidak berbobot. Terpaksalah rakyat memilih pemimpin terbaik dari yang jelek-jelek.

Pertanyaannya adalah siapa yang menentukan calon wakil rakyat yang berkualitas? Tampaknya tidak ada. Rakyat terpaksa memilih calon-calon wakil rakyat yang tidak jelas, hanya karena itulah pilihan yang ada. Berbeda dengan sistem Islam, dimana anggota pemilih tidak dipilih oleh rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar