Minggu, 19 Juli 2009

Bidah; Disangka Air ternyata Api

Bidah; Disangka Air ternyata Api
Suatu ketika, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhu yang dikenal sebagai aktsaru iqtida'an li-rasuulillah (sahabat yang paling banyak meneladani Rasulullah) mendengar orang yang bersin sembari membaca, "Alhamdulillah, wash-shalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillah." Seketika itu, beliau menegurnya dan berkata, "Tidak demikian yang diajarkan oleh Rasulullah! Beliau hanya bersabda, "Barangsipa yang bersin di antara kalian, maka hendaknya memuji Allah (membaca hamdalah)," Beliau tidak mengatakan, "Dan hendaknya bershalawat atas Rasulullah!""

Begitulah kepekaan beliau terhadap bid'ah yang diada-adakan, meskipun orang menganggapnya baik. Pelaku bid'ah seperti orang yang mengumpulkan barang-barang untuk perbekalan safar jarak jauh. Tapi, ternyata bekal yang ia bawa tak berguna apa-apa, selain menambah beban di tengah perjalanan. Sementara dia justru meninggalkan bekal yang bisa meringankan beratnya perjalanan, dan bahkan ia tinggalkan kendaraan yang mengantarkan sampai ke tujuan.

Inilah orang yang tertipu, dia beramal dengan suatu amalan yang dia sangka kebaikan yang mengantarkan ke jannah, tapi ternyata yang dilakukan adalah dosa yang bisa menyeretnya ke neraka. Allah berfirman, "Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al-Kahfi: 104)

Bid'ah adalah fatamorgana bagi para pelakunya. Disangkanya air yang bisa mengakhiri derita dahaga, ternyata panas api yang akan menambah penderitaannya. Nabi memberikan keterangan bahwa amal yang tidak mengikuti sunnahnya akan tertolak,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah (contoh)nya dari kami maka tertolak." (HR. Muslim)

Di samping tertolak, bid'ah juga terbilang sebagai kesesatan yang berpotensi memasukkan seseorang ke neraka. Karena setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah neraka tempatnya.

Ibnu Al-Jauzi menyebutkan bahwa bid'ah lebih disukai iblis daripada dosa besar. Karena orang yang melakukan dosa besar menyadari kesalahannya, sehingga mungkin dia akan bertaubat. Sedangkan pelaku bid'ah, bukan saja dia tidak sadar bahwa yang dia lakukan mengandung dosa, bahkan ia sangka mendatangkan pahala. Maka sulit diharapkan taubatnya.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah juga menyebutkan bahwa rangking kedua dosa yang dituju oleh setan setelah syirik adalah bid'ah. Dan bid'ah biasanya menjadi perantara menuju kesyirikan. Seperti bid'ah-bid'ah yang dilakukan di kuburan, hingga ada yang berdoa dan mengagungkan penghuni kubur.

Ketika seseorang condong kepada perbuatan bid'ah, maka pada waktu yang sama dia sedang menjauh dari sunnah dan hidayah. Bisa kita lihat, orang-orang yang bersemangat dalam acara-acara bid'ah, tapi mereka tidak nongol ketika shalat jama'ah di tegakkan. Mereka menganggap bid'ah yang ia lakukan lebh penting dari sunnah, atau bahkan kewajiban yang ia tinggalkan. Inilah orang yang tertipu oleh fatamorgana bid'ah. Maka, waspadalah! (Abu Umar A)

Sumber: www.ar-risalah.or.id

Pilpres 2009ternyata sudah di ramal oleh sutradara Doraemon



Megawati adalah jaiko




















Prabowo adala gaint
























Jk adl PApanya suneo














SBY adalah papa nobita

Rabu, 15 Juli 2009

Islamnya Umar bin Khattab

Umar bin khattab r.a merupakan salah satu sahabat Rasulullah, dan khalifah yang menggantikan Abu Bakar as-Shiddiq r.a. Beliau dilahirkan di kota Mekkah dari suku terpandang di kalangan Quraisy, Bani Adin.
Sebelum memeluk Islam, Umar Bin Khattab merupakan salah seorang yang menentang ajaran islam, baik dengan harta maupun dengan kekuatannya. Terlebih lagi dengan badan yang tegap, beliau termasuk kalangan yang cukup disegani, baik oleh lawan maupun kawan.

Pada suatu ketika Umar menyiksa seorang bekas budak yang telah memeluk agama islam. Mendapat siksaan yang cukup berat tersebut, terlontar kata-kata dari sang bekas budak, “Mengapa Tuan tidak kembali saja ke rumah. Lihatlah keluarga Tuan sendiri, bagaimana mereka?!”

Mendengar perkataan itu, Umar menghentikan siksaannya dan bertanya dengan keras. “Siapa yang kau maksud?” dengan tegas pula sang budak menjawab,”Saudar perempuan tuan sendiri Fatimah binti Khattab dan suaminya Sa’id bin Zaid bin ‘Amr. Keduanya telah memeluk islam dan menjadi umat yang setia kepada agama Muhammad.”

Umar langsung bangkit dan menuju ke rumah adiknya. Tatkala tiba di depan pintu rumah adiknya, Umar mendengar ada orang yang sedang membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Umar mendobrak masuk dan mendapati kedua adiknya sedang membaca lembaran Al-Quran. Ditempelengnya kedua adiknya tersebut hingga berdarah.

Setelah menerima pukulan dari kakanya, Fatimah binti Khattab berkata kepada Umar,”Kami telah masuk Islam dan Kami telah beriman kepada Allah dan RasulNya. Lakukanlah apa yang akan kau lakukan hai Umar.”
Melihat darah yang menetes dari muka adik dan suaminya, Umar terdiam. Masih dengan nada marah, dia lalu meminta lembaran yang tadi dibaca kedua adiknya tersebut.namun adiknya memolak memberikan karena takut Umar akan merobeknya, dan juga karena Umar tidak dalam keadaan suci. Melihat penolakan tersebut, Umar pergi membasuh diri dan berjanji tidak akan merobeknya.

Umar pun membaca apa yang tertulis di atas lembaran kertas tersebut. Ternyata pada lembaran tersebut tertulis firman Allah dalam surat Thaahaa:
طه
مَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ لِتَشۡقَىٰٓ
إِلَّا تَذۡڪِرَةً۬ لِّمَن يَخۡشَىٰ
تَنزِيلاً۬ مِّمَّنۡ خَلَقَ ٱلۡأَرۡضَ وَٱلسَّمَـٰوَٲتِ ٱلۡعُلَى
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ


Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut [kepada Allah], yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. [Yaitu] Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ’Arsy.. (QS ThaaHaa:1-5)

Setelah membaca firman Allah tersebut, rasa takut tiba2 menyelimuti hatinya. Tanpa disadarinya Umar memuji keindahan dari isi lembaran tersebut. Tiba-tiba muncullah Khabab Ibnu ‘l-Arats, yang sedari tadi bersembunyi. Dia berseru kepada Umar,” Wahai Ibnu Khattab, demi Allah sungguh saya berharapengkaulah yang dipilih Allah sehubungan dengan do’a RasulNya:’ya Allah perkuatlah Islam dengan Abu ‘l-Hakam bin Hisyam atau Umar bin Khattab’.”

Dengan segera Umar bin Khattab pergi menuju rumah al-Arqam bin abu’l-Arqam, tempat Rasulullah berada saat itu. Masih dengan menghunus pedang, Umar masuk ke dalam rumah tersebut. Rasulullah menyambutnya dengan lembut. Umar kemudian berkata,”ya Rasulullah, aku datang kepadamu hendak beriman kepada Allah dan RasulNya, dan pada apa yang datang dari Allah.” Seketika itu juga Rasulullah mengumandangkan takbir, sehingga orang-orang pun tahu, Umar Bin Khattab telah masuk Islam.

Jadi dapat dikatakan, bahwa masuknya Umar bin Khattab r.a ke dalam Islam disebabkan oleh Al-Qur’an. Hal ini dibenarkan oleh mayoritas Ulama sufi.

Ironi di Balik Kematian Michael Jackson dan Fathi Yakan



Bulan Juni 2009 diisi dengan dua berita kematian tokoh dunia yang berbeda: Michael Jackson dan Fathi Yakan. Keduanya dikenal banyak orang, namun faktanya, orang Islam lebih banyak meratapi kepergian Michael Jackson daripada kehilangan seorang ulama besarnya.

Michael Jackson, dikenal dengan sebutan “King of Pop” diberitakan meninggal karena serangan jantung di rumah sakit UCLA Medical Center di Los Angeles. Ia meninggal di usia 50 tahun. Sampai saat ini, penyebab kematiannya sendiri masih sedikit simpang siur. Ketika dibawa oleh petugas kesehatan pemadam kebakaran Los Angeles, ia diberitakan sudah tidak bernafas.

Kematian Michael Jackson membawa akhir tragis si Raja Musik Pop ini. Pada tahun 1980an, ia sangat terkenal dan mendominasi bisnis musik dunia. Albumnya yang berjudul “Thriller” pada tahun 1982 terjual sebanyak 50 juta kopi di seluruh dunia dan menjadikannya sebagai salah satu orang terkaya di dunia. Pada awal 90an, ia mengganti rupa dan bentuk tubuhnya, dari seorang kulit hitam menjadi kulit putih, lewat operasi plastik. Pada pertengahan 90an, ia sudah hampir kehilangan popularitas karena serbuan musik alternatif (grunge) dan albumnya yang disiapkan dengan biaya besar (Dangerous) jeblok di pasaran.

Kehidupan Jackson dipenuhi dengan berbagai peristiwa aneh dan kontroversial. Setelah mengganti tubuhnya, dan ia menjadi ayu laksana perempuan, Jacko—panggilannya—juga terlibat kawin cerai, diberitakan melakukan pelecehan seksual, aksi pembahayaan kepada anaknya sendiri, dan sebagainya. Pada tahun 2003, ia diberitakan masuk Islam mengikuti jejak abang kandungnya yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Namun berita seputar Jacko dalam menjalankan Islam minim sekali. Tahun 2009, ia diberitakan akan melakukan aksi come-back, namun ajal keburu menghampirinya, seperti yang diberitakan oleh MSNBC.

Berita kematian Michael Jackson langsung disambut gegap-gempita oleh masyarakat seluruh dunia. Termasuk juga orang-orang Islam. Mereka mengaku berbela sungkawa. Mereka menulis status yang mendalam di facebook milik mereka dan menyatakan sangat kehilangan Jacko.

Sementara pada Sabtu pekan kemarin, seorang ulama besar Islam pun wafat. Ia adalah Fathi Yakan. Fathi Yakan adalah tokoh pergerakan Islam yang buku-bukunya banyak dibaca dan menjadi referensi para aktivis pergerakan Islam Indonesia diawal-awal tahun 80-90an.

Syaikh Fathi Yakan seorang ulama Islam lahir pada tahun 1933 di Tripoli. Dia pernah menjabat sebagai anggota parlemen di Libanon pada tahun 1992. Ia terlibat dalam kerja-kerja dakwah di Libanon pada pertengahan tahun 1950 an dan merupakan pelopor pembentukan gerakan Islam disana. Syaikh Fathi Yakan juga tidak terlepas dari gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir.

Salah satu bukunya yang cukup fenomenal yang terbit pada tahun 90an adalah Aids Haraky - sebuah buku yang banyak menyindir dan mengkritik gerakan-gerakan Islam yang terlalu banyak berbicara politik daripada Islam itu sendiri.

Sebaliknya, berita kematian Fathi Yakan ini mendapat tanggapan yang sepi dari dunia Islam. Banyak umat Islam yang tidak mengetahui kematian beliau. Bahkan ketika ditanya, banyak pula yang menjawab, “Fathi Yakan? Fathi Yakan siapa?”. Fathi Yakan, didoakan oleh seantero dunia Islam. Jacko, ditangisi oleh penggemarnya. (sa/msnbc/ermsl)

Selasa, 07 Juli 2009

Penjelasan Hadits Arba’in Nawawiyah Nomor 33: Tuntunan Ketika Bersengketa

Penjelasan Hadits Arba’in Nawawiyah Nomor 33: Tuntunan Ketika Bersengketa

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (( لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَي رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ وَلَكِن الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ)) حديث حسن رواه البيهقي وغيره هكذا, وبعضه في الصحيحين

Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika semua orang diberikan (apa yang mereka dakwakan) hanya dengan dakwaan mereka, maka akan banyak orang yang mendakwakan harta dan jiwa orang lain. Tapi yang mendakwa harus mendatangkan bukti dan terdakwa yang mengingkari harus bersumpah.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dan yang lain demikian, dan sebahagiannya di Shahihain)

Hadits Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (4552) dan Muslim (1711), tapi dalam riwayat keduanya tidak ada lafazh, “Tapi yang mendakwa harus mendatangkan bukti.” Namun kalimat ini telah shahih dalam hadits Al-Asy’ats bin Qais riwayat Al-Bukhari dan Muslim dalam kisah Al-Asy’ats dengan anak pamannya. Berkata Al-Asy’ats: Terjadi perselisihan antara aku dengan seseorang tentang sebuah sumur. Kamipun mengangkat permasalahan tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Datangkanlah dua saksi atau dia akan bersumpah.” Akupun berkata: “Kalau begitu dia akan dengan mudah bersumpah dan tidak peduli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Barang siapa yang bersumpah untuk mendapatkan harta dan ia berdosa di dalamnya, ia akan bertemu Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya. Maka Allah menurunkan ayat yang menegaskan hal tersebut, kemudian beliau membaca

إِنَّ الَّذِيْنَ يَشْتَرُوْنَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيْلاً أُوْلَئِكَ لاَ خَلاَقَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ وَلاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. Ali Imran [3]: 77)

Dan diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab telah menulis kepada Abu Musa: Yang mendakwa harus mendatangkan bukti dan terdakwa yang mengingkari harus bersumpah. Zaid bin Tsabit juga telah menghukumi perselisihan antara Umar dan Ubay bin Ka’ab dengan cara tersebut, dan keduanya tidak mengingkarinya. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 373)

Ibnul Mundzir berkata: Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa yang mendakwa harus mendatangkan bukti dan terdakwa yang mengingkari harus bersumpah. Dan arti: “yang mendakwa harus mendatangkan bukti” adalah bahwa pendakwa berhak atas apa yang ia dakwakan dengan bukti karena hal tersebut wajib atasnya. Dan arti “terdakwa yang mengingkari harus bersumpah” adalah bahwa terdakwa bebas dari dakwaan dengan sumpahnya karena sumpah tersebut wajib atasnya dalam keadaan apapun.

Hadits ini adalah pokok dalam bab peradilan. Ibnu Daqiq berkata: “Dan hadits ini adalah salah satu pokok hukum dan referensi utama dalam pertentangan dan perselisihan. Konsekuensinya seseorang tidak boleh divonis hanya dengan dakwaannya.” (Syarah Arba’in, Ibnu Daqiq, 117)

Hadits ini menunjukkan bahwa jika vonis diberikan untuk pendakwa hanya dengan dakwaannya, akan banyak orang yang memanfaatkannya untuk merebut harta orang lain dan mengancam jiwa dan kehormatannya. Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa pendakwa harus mendatangkan bayyinah atau bukti, yaitu jika terdakwa mungkir dan tidak mengakui dakwaan. Adapun jika terdakwa mengakui dakwaan, masalahnya selesai dan pengakuan ini disebut iqrar. Pendakwa tidak perlu lagi mendatangkan bukti.

Bayyinah adalah segala sesuatu yang menjelaskan dan menunjukkan kebenaran baik berupa saksi, tanda-tanda (indikasi) dsb. Jika pendakwa mendatangkan bayyinah, ia bisa mendapatkan hak yang ia dakwakan. Jika tidak ada bayyinah, si terdakwa harus bersumpah mengingkari dakwaan. Jika ia melakukannya, ia bebas dari dakwaan tersebut. Jika ia menolak bersumpah, ia divonis dengan penolakan tersebut dan pendakwa berhak mendapat hak yang ia dakwakan. Penolakan ini disebut nukul.

Kaidah tersebut adalah kaidah umum. Ada beberapa masalah yang dikecualikan dari kaidah ini, sehingga pendakwa tidak perlu mendatangkan bukti atas dakwaannya. Masalah-masalah tersebut antara lain:

1. Anak yang mengaku balig dengan bermimpi basah
2. Orang yang dititipi mengaku bahwa barang titipannya rusak atau dicuri orang.

Bagaimana Menentukan Mudda’i (Pendakwa) Dan Mudda’a ‘Alaih (Terdakwa) ?

Masalah ini adalah tugas hakim/qadhi yang paling penting. Ibnu Farhun mengatakan bahwa ilmu qadha berporos pada pembedaan mudda’a dari mudda’a ‘alaih. Jika qadhi sudah bisa menentukan mudda’i dan mudda’a ‘alaih, alur peradilan akan menjadi mudah. Sa’id bin Al-Musayyib mengatakan: “Siapa yang telah mengetahui mudda’a dan mudda’a ‘alaih tidak akan kesulitan menghukumi antara keduanya (Al-Muqaddimat Al-Mumahhidat, 2/731). Tapi pekerjaan ini tidaklah mudah. Jelas bahwa mendatangkan bukti lebih berat daripada bersumpah. Tugas mudda’i lebih berat dari tugas mudda’a ‘alaih. Jika qadhi salah menentukan mudda’i dan mudda’a ‘alaih, ia akan membebani mudda’a ‘alaih dengan sesuatu yang lebih berat dari yang seharusnya ia pikul, dan meringankan beban mudda’i.

Ada dua pendapat ulama (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 374) dalam menentukan mudda’i dan muddda’a ‘alaih yaitu:

1. Bahwa mudda’i adalah orang yang jika ingin meninggalkan khushumah (perselisihan / kasus) maka dibolehkan dan tidak dipaksa untuk meneruskannya. Sedangkan mudda’a ‘alaih adalah orang yang jika ingin meninggalkan khushumah maka ia akan dipaksa untuk meneruskannya. Pendapat ini adalah pilihan sebagian besar ulama mazhab Hanafi dan Hanbali. Jika Bakr mendakwakan bahwa Zaid berhutang kepadanya, maka Bakr adalah mudda’i karena ia bisa saja dan boleh meninggalkan dakwaannya sehingga khushumah dianggap selesai. Adapun Zaid, ia menjadi mudda’a ‘alaih karena ia tidak bisa meninggalkan khushumah begitu saja, dan dipaksa untuk menyelesaikannya.
2. Bahwa mudda’a ‘alaih adalah orang yang dikuatkan oleh ma’hud (adat dan kebiasaan) atau ashl (hukum dasar), sedangkan mudda’i adalah orang yang menyelisihi ma’hud atau ashl. Misalnya ada dua orang yang berebut mesin jahit. Salah satunya penjahit dan yang lain tukang kayu. Maka si tukang jahit adalah mudda’a ‘alaih karena ma’hud menguatkannya. Biasanya mesin jahit adalah milik tukang jahit. Si tukang kayu menjadi mudda’i dan harus mendatangkan bukti bahwa mesin jahit itu adalah miliknya. Contoh lain: Ada kaidah yang menyatakan: “Al-Ashlu baraatudz dzimmah”. Pada dasarnya, setiap orang bebas dari tanggungan. Jika Daud mendakwakan bahwa Sulaiman berhutang padanya, Sulaiman menjadi mudda’a ‘alaih karena ia dikuatkan oleh ashl yaitu kaidah baraatudz dzimmah, yaitu bahwa sebelum terjadi sesuatu, semua bebas dari tanggungan. Daud menjadi mudda’i dan harus mendatangkan bukti.

Masing-masing dari kedua pendapat ini tidak bisa secara mutlak diterapkan dalam setiap kasus. Setiap kasus memiliki cara penentuan mudda’i dan mudda’a ‘alaih sendiri-sendiri. Hakim harus pintar-pintar memilih cara mana yang sesuai untuk kasus yang sedang dihadapinya. (Lihat: Tabshiratul Hukkam, 1/106)

Tidak selamanya sumpah hanya diperuntukkan mudda’a ‘alaih. Kadang-kadang sumpah diminta dari mudda’i seperti dalam beberapa masalah berikut:

1. Qasamah. Dalam shahih Bukhari dan Muslim dikisahkan bahwa Huwaishah dan Muhayyishah menuntut qishash atas kematian Abdullah bin Sahl yang meninggal di perkampungan Khaibar. Mereka menuduh Yahudi Khaibar telah membunuhnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta dari mereka untuk mendatangkan dua orang saksi, mereka menjawab: “Bagaimana mana kami bisa mendatangkan dua saksi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Hendaknya ada lima puluh orang dari kalian yang bersumpah bahwa seorang dari mereka telah membunuhnya, kemudian ia akan di tangkap (untuk di qishash)”.
2. Menghukumi dengan saksi dan sumpah. Muslim dalam shahihnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukumi dengan sumpah dan saksi. Adapun lafadz: “laisa laka illa dzalika” dalam hadits “syaahidaaka aw yamiinuhu”, hanya diriwayatkan oleh Manshur bin Abi Wail dan ia menyelesihi semua perawi yang lain dalam hal ini. Adapun sabda Nabi: “Dan terdakwa yang mengingkari harus bersumpah” maksudnya adalah sumpah yang menyelesaikan perselisihan ketika tidak ada bukti dari mudda’i. Adapun sumpah yang menetapkan suatu hak bersama saksi, maka ini adalah sumpah jenis lain yang tidak dimaksudkan oleh hadits. (Lihat: Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 376)

Dalam dua masalah di atas kita dapatkan bahwa kesempatan bersumpah diberikan kepada pihak yang lebih kuat di antara dua orang yang berselisih. Dalam qasamah, ketika posisi wali Abdullah bin Sahl lebih kuat dengan lauts (indikasi), kesempatan sumpah diberikan kepada mereka. Sedang dalam masalah saksi dan sumpah, ketika mudda’i bisa menghadirkan satu saksi, posisinya menjadi kuat dan kesempatan bersumpah diberikan kepadanya. (Lihat: Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 376)

Sebagaimana pendakwa harus membuktikan dakwaannya dalam urusan dunia, ia harus mendatangkan bukti atas dakwaannya dalam urusan-urusan ukhrawi. Barang siapa yang mengaku cinta Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dianggap sungguh-sungguh dakwaannya jika membuktikan dakwaan tersebut dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “Katakanlah (wahai Muhammad): jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran ayat 31)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini menjadi hakim atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah padahal tidak di atas jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pada hakikatnya bohong sampai mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perkataan dan perbuatannya, seperti telah tetap dalam Ash Shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata:

« مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ »

“Barang siapa melakukan sebuah amalan yang tidak berdasarkan ajaran kami, maka amalan itu ditolak.”

Karenanya Allah ta’ala berfirman: “jika kalian mencitai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian”. Artinya terwujud untuk kalian sesuatu yang lebih besar dari yang kalian cari (cinta kalian kepada Allah), yaitu kecintaan Allah kepada kalian, dan ini lebih agung dari yang pertama. Sebagian ulama bijak mengatakan: “Yang penting bukanlah engkau mencintai, tapi yang penting engkau dicintai”. Dan Al-Hasan Al- Bashriy dan salaf yang lain berkata: “Suatu kaum mengaku bahwa mereka mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/367)

Beberapa faedah yang terkandung (Lihat: Fathul Qawiyyil Matin, 116):

* Kesempurnaan syariat Islam yang melindungi harta dan jiwa manusia.
* Penjelasan dari Nabi tentang alur peradilan dan cara menyelesaikan perselisihan.
* Jika terdakwa tidak mengakui dakwaan, pendakwa harus mendatangkan bukti.
* Jika tak ada bukti, terdakwa disumpah. Jika ia mau bersumpah, bebaslah ia dari dakwaan. Jika tidak, ia divonis dengan dakwaan tersebut.

***

Terurainya Jalinan Silaturrahim

Tali kekerabatan harus selalu rapat dan erat. Beragam gejala yang berpotensi merenggangkannya mesti diantisipasi dengan cepat, supaya keharmonisan hubungan tetap terjaga, kuat lagi hangat. Semua anggota kerabat akan menikmati rahmat dari-Nya lantaran menjunjung tinggi tali silaturahmi yang sangat ditekankan oleh syariat. Sebaliknya, ketidakpedulian terhadap hubungan kekerabatan akan dapat menimbulkan dampak negatif. Alasannya, tali silaturahmi lambat laun akan mengalami perenggangan. Pemutusan tali silaturahmi berdampak mengikis solidaritas, mengundang laknat, menghambat curahan rahmat dan menumbuhkan suburnya egoisme. Sering terdengar di masyarakat pelbagai kasus putusnya tali silaturrahim. Ancaman Islam sangat tegas terhadap pemutusan silaturrahim ini.

Allah ta’ala berfirman:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan Allah tulikan telinga mereka dan Allah butakan penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan silaturrahim.” (HR. Bukhari 5984 dan Muslim 2556)

Banyak faktor yang dapat menyulut terjadinya pemutusan tali silaturrahim. Namun ketidaktahuan seseorang tentang itu, membuatnya terjerumus dalam kesalahan.

Bentuk-Bentuk Pemutusan Silaturrahim

Anjuran untuk membina tali silaturahmi sangat jelas. Sebagaimana diterangkan Ibnul Atsir, silaturahmi merupakan cerminan berbuat baik kepada keluarga dekat, berlemah-lembut kepada mereka, memperhatikan keadaan mereka baik ketika mereka berada di daerah yang jauh maupun ketika mereka melontarkan kejelekan kepadanya. Memutuskan tali silaturrahim merupakan tindakan yang berlawanan dengan itu semua.

Meski demikian, fenomena pemutusan tali silaturrahim kerap kali terdengar di tengah masyarakat, terutama akhir-akhir ini, saat materialisme mendominasi. Saling mengunjungi dan menasihati sudah dalam titik yang memprihatinkan. Hak keluarga yang satu ini sudah terabaikan, tidak mendapatkan perhatian yang semestinya. Padahal jarak sudah bukan lagi menjadi halangan di era kemajuan teknologi informasi. Di antara contoh konkret bentuk pemutusan silaturrahim yang muncul di tengah masyarakat adalah:

Pertama, tidak adanya kunjungan kepada sanak keluarganya dalam jangka waktu yang panjang, tidak memberi hadiah, tidak berusaha merebut hati keluarganya, tidak membantu menutupi kebutuhan atau mengatasi penderitaan kerabatnya. Yang terjadi, justru menyakiti kerabatnya dengan ucapan atau perbuatan.

Kedua, tidak pernah menghidupkan semangat senasib dan sepenanggungan dalam kegembiraan maupun kesusahan. Malah orang lain yang dikedepankan daripada membantu keluarga dekatnya.

Ketiga, lebih sering menghabiskan waktu dakwahnya kepada orang lain daripada sibuk dengan keluarga sendiri. Padahal, mereka lebih berhak mendapatkan kebaikan. Allah berfirman kepada Nabi-Nya:

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ اْلأَقْرَبِينَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’ara: 214)

Keempat, ada juga orang yang mau menjalin tali silaturrahim, jika keluarganya menyambung silaturrahim dengannya. Tapi ia akan mengurainya, jika mereka memutuskannya.

Faktor Penyebab Terputusnya Silaturrahim

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa banyak hal yang dapat menyebabkan terputusnya silaturrahim, di antaranya ialah

Pertama, ketidaktahuan bahaya memutuskan tali silaturrahim. Ketidaktahuan seseorang terhadap akibat buruk yang akan dideritanya dalam kehidupan dunia maupun akhirat akibat memutuskan silaturrahim, telah menyebabkannya melakukan pemutusan silaturrahim ini. Sebagaimana juga ketidaktahuan seseorang tentang keutamaan silaturrahim, membuat dia malas dan kurang semangat melakukannya.

Kedua, ketakwaan yang melemah. Orang yang melemah ketakwaan serta agamanya, maka dia tidak akan peduli dengan perbuatannya yang memotong sesuatu yang mestinya disambung. Dia tidak pernah tergiur dengan pahala silaturrahim yang dijanjikan Allah serta tidak merasa takut dengan akibat dari pemutuskan silaturrahim ini.

Ketiga, kesombongan. Sebagian orang, jika sudah mendapatkan kedudukan yang tinggi atau menjadi saudagar besar, dia berubah sombong kepada keluarga dekatnya. Dia menganggap ziarah kepada keluarga merupakan kehinaan, begitu juga usaha merebut hati mereka, dianggapnya sebagai kehinaan. Karena ia memandang, hanya dirinya saja yang lebih berhak untuk diziarahi dan didatangi.

Keempat, perpisahan yang lama. Ada juga orang yang terputus komunikasi dengan keluarga dekatnya dalam waktu yang lama, sehingga dia merasa terasingkan dari mereka. Mula-mula dia menunda-nunda ziarah, dan itu terulang terus sampai akhirnya terputuslah hubungan dengan mereka. Dia pun terbiasa dengan terputus dan menikmati keadaannya yang jauh dari keluarga.

Kelima, celaan berat. Ada sebagian orang, jika dikunjungi oleh sebagian anggota keluarganya setelah terpisah sekian lama, dia menghujani saudaranya itu dengan hinaan dan celaan. Karena dinilai kurang dalam menunaikan haknya dan dinilai terlambat dalam berkunjung. Akibatnya, muncul keinginan menjauh dari orang yang suka mencela ini dan merasa takut untuk menziarahinya lagi karena khawatir dicela.

Keenam memberatkan. Ada orang, jika dikunjungi oleh sanak familinya, dia terlihat membebani dirinya untuk menjamunya secara berlebihan. Dikeluarkannya banyak harta dan memaksa diri untuk menghormati tamunya, padahal dia kurang mampu. Akibatnya, saudara-saudaranya merasa berat untuk berkunjung kepadanya karena khawatir menyusahkan tuan rumah.

Ketujuh, kurang memperhatikan orang yang berkunjung. Ada orang, jika dikunjungi oleh saudaranya, dia tidak memperlihatkan kepeduliannya. Dia tidak memperhatikan omongannya. Bahkan kadang dia memalingkan wajahnya saat diajak bicara. Dia tidak senang dengan kedatangan mereka dan tidak berterima kasih. Dia menyambut para pengunjung dengan berat hati dan sambutan dingin. Ini akan mengurangi semangat untuk mengunjunginya.

Kedelapan, pelit dan bakhil. Ada sebagian orang, jika diberi rezeki oleh Allah berupa harta atau wibawa, dia akan lari menjauh dari keluarga dekatnya, bukan karena ia sombong. Dia lebih memilih menjauhi mereka dan memutuskan silaturrahim daripada membukakan pintu buat kaum kerabatnya, menerima mereka jika bertamu, membantu mereka sesuai dengan kemampuan dan meminta maaf jika tidak bisa membantu. Padahal, apalah artinya harta jika tidak bisa dirasakan oleh kerabat!

Kesembilan, menunda pembagian harta warisan. Terkadang ada harta warisan yang belum dibagi di antara ahli waris; entah karena malas atau karena ada yang membangkang. Semakin lama penundaan pembagian harta warisan, maka semakin besar kemungkinan akan menyebarnya permusuhan dan saling membenci di antara mereka. Karena ada yang ingin mendapatkan haknya untuk dimanfaatkan, ada juga ahli waris yang keburu meninggal sehingga ahli warisnya sibuk mengambil haknya mayit yang belum diambilnya, sementara yang lain mulai berburuk sangka kepada yang lainnya. Akhirnya perkara ini menjadi ruwet dan menjadi kemelut yang mengakibatkan perpecahan serta membawa kepada pemutusan silaturrahim.

Kesepuluh, kerja sama antar keluarga dekat. Sebagian orang bekerjasama dengan saudaranya dalam suatu usaha atau PT tanpa ada kesepakatan yang jelas. Ditambah lagi, dengan tidak adanya tranparansi. Usaha ini terbangun hanya berdasarkan suka sama suka dan saling mempercayai. Jika hasilnya mulai bertambah serta wilayah usahanya semakin melebar, mulai timbul benih perselisihan, perbuatan zhalim mulai mengemuka dan mulai timbul prasangka buruk kepada yang lain. Terutama jika mereka ini kurang bertakwa dan tidak memiliki sifat itsar (yaitu sifat lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya), atau salah seorang di antara mereka keras kepala atau salah seorang di antara mereka ini lebih banyak modalnya dibandingkan yang lainnya. Dari suasana yang kurang sehat ini, kemudian hubungan semakin memburuk, perpecahan tak terelakkan, bahkan mungkin bisa berbuntut ke pengadilan. Akhirnya di persidangan mereka saling mencela.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَآءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ

“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)

Kesebelas, sibuk dengan dunia. Orang yang rakus dunia seakan tidak memiliki waktu lagi untuk menyambung silaturrahim dan untuk berusaha meraih kecintaan kerabatnya.

Kedua belas, perceraian di antara kerabat. Kadang perceraian tak terelakkan antara suami istri yang memiliki hubungan kerabat. Ini menimbulkan berbagai macam kesulitan bagi keduanya, entah disebabkan oleh anak-anak atau urusan-urusan lain yang berkaitan erat dengan perceraian atau sebab yang lain.

Ketiga belas, jarak yang berjauhan serta malas ziarah. Kadang ada keluarga yang berjauhan tempat tinggalnya dan jarang saling berkunjung, sehingga merasa jauh dengan keluarga dan kerabatnya. Jika ingin berkunjung ke kerabat, tempat ia yang tuju itu terasa sangat jauh. Akhirnya jarang ziarah.

Keempat belas, rumah yang berdekatan. Rumah yang berdekatan juga bisa mengakibatkan keretakan dan terputusnya silaturrahim. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Perintahkanlah kepada para kerabat agar saling mengunjungi bukan untuk saling bertetangga.” Al Ghazali mengomentari perkataan Umar ini, “Beliau mengucapkan perkataan ini, karena bertetangga bisa mengakibatkan persaingan hak. Bahkan mungkin bisa mengakibatkan rasa tidak suka dan pemutusan silaturrahim.” Aktsam bin Shaifi mengatakan, “Tinggallah di tempat yang berjauhan, niscaya kalian akan semakin saling mencintai.” Kadang juga, kedekatan ini menimbulkan masalah. Misalnya, problem yang terjadi antara anak dengan anak bisa merembet melibatkan orang tua. Masing-masing membela anaknya, sehingga menimbulkan permusuhan dan menyebabkan pemutusan silaturrahim.

Kelima belas, kurang sabar. Ada sebagian orang yang tidak sabar dalam menghadapi masalah kecil dari kerabatnya. Terkadang hanya disebabkan oleh kesalahan kecil, dia segera mengambil sikap untuk memutuskan silaturrahim.

Keenam belas, lupa kerabat pada saat mempunyai acara. Saat salah seorang kerabat memiliki acara walimah atau lainnya, dia mengundang kerabatnya, baik dengan lisan, lewat surat undangan atau lewat telepon. Saat memberikan undangan ini, kadang ada salah seorang kerabat yang terlupakan. Sementara yang terlupakan ini orang yang berjiwa lemah atau sering berburuk sangka. Kemudian orang yang berjiwa lemah ini menafsirkan kealpaan kerabatnya ini sebagai sebuah kesengajaan dan penghinaan kepadanya. Buruk sangka ini menggiringnya untuk memutuskan silaturrahim.

Ketujuh belas, hasad atau dengki. Kadang ada orang yang Allah anugerahkan padanya ilmu, wibawa, harta atau kecintaan dari orang lain. Dengan anugerah yang disandangnya, ia membantu kerabatnya serta melapangkan dadanya buat mereka. Karena perbuatan yang baik ini, kemudian ada di antara kerabatnya yang hasad kepadanya. Dia menanamkan bibit permusuhan, membuat kerabatnya yang lain meragukan keikhlasan orang yang berbuat kebaikan tadi, dan kemudian menebarkan benih permusuhan kepada kerabat yang berbuat baik ini.

Kedelapan belas, banyak gurau. Sering bergurau memiliki beberapa efek negatif. Kadang kala ada kata yang terucap dari seseorang tanpa memperdulikan perasaan orang lain yang mendengarnya. Perkataan menyakitkan ini kemudian menimbulkan kebencian kepada orang yang mengucapkannya. Fakta seperti ini sering terjadi di antara kerabat karena mereka sering berkumpul. Ibnu Abdil Baar mengatakan, “Ada sekelompok ulama yang membenci senda gurau secara berlebihan. Karena akibatnya yang tercela, menyinggung harga diri, bisa mendatangkan permusuhan serta merusak tali persaudaraan.”

Kesembilan belas, fitnah. Terkadang ada orang yang memiliki hobi merusak hubungan antar kerabat -iyadzan billah. Orang seperti ini sering menyusup ke tengah orang-orang yang saling mencintai. Dia ingin memisahkan dan mencerai-beraikan persatuan, serta mengacaukan perasaan hati yang telah menyatu. Betapa banyak tali silaturrahim terputus, persatuan menjadi berantakkan disebabkan oleh fitnah. Dan merupakan kesalahan terbesar dalam masalah ini, yaitu percaya dengan fitnah. Alangkah indah perkataan seorang penyair yang mengingatkan kita:

Siapa yang bersedia mendengarkan perkataan para tukang fitnah,

maka mereka tidak menyisakan buat pendengarnya

Seorang teman pun, meskipun kerabat tercinta.

Keduapuluh, perangai buruk sebagian istri. Terkadang seseorang diuji dengan istri yang berperangai buruk. Sang istri tidak ingin perhatian suaminya terbagi kepada yang lain. Dia terus berusaha menghalangi suami agar tidak berziarah ke kerabat. Di hadapan suami, istri ini memuji kedatangan kerabat mereka ke tempat tinggal suami dan menghalangi suami untuk bertamu ke kerabatnya. Sementara itu, ketika menerima kunjungan dari kerabat, dia tidak memperlihatkan wajah gembira. Ini termasuk hal yang bisa menyebabkan terputusnya silaturrahim. Ada juga suami yang menyerahkan kendali kepada istrinya. Jika istri ridha kepada kerabat, dia menyambung silaturrahim dengan mereka. Jika istri tidak ridha, maka dia akan memutuskannya. Bahkan sampai-sampai sang suami tunduk kepada istrinya dalam berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya, padahal keduanya sangat membutuhkannya.

Demikian beberapa sebab yang bisa memutuskan tali silaturrahim. Sebagai orang yang beriman, kita harus menjauhi hal-hal yang dapat menyebabkan terputusnya tali silaturrahim ini. oleh karena itu, hendaklah kita menjaga silaturrahim, memupuknya, serta mencari sarana-sarana yang bisa mengokohkannya, agar tidak terkikis oleh derasnya arus budaya yang merusaknya. Wallahu a’lam.

Diangkat dari Qathi’ati Ar Rahmi Al Mazhahiru Al Asbabu Subulu Al Ilaji, karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd, Penerbit, Kementrian Urusan Agama, Wakaf dan Dakwah KSA, Cet. II, Th. 1423 H.

***

Hakikat Tasawuf (1)

Pendahuluan

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد

Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala

Sebelum kami membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah menurut apa yang dipahami salafush shalih. Sebagai bukti akan hal ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal kalau kita melihat pengakuan lisan dan penampilan lahir kelompok khawarij ini maka tidak akan ada seorang pun yang menduga bahwa mereka menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan ciri-ciri kelompok khawarij ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“…Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara lahir) kata-kata yang baik dan indah, dan mereka selalu membaca Al Quran tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)…” (HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu).

Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “… Bacaan Al Quran kalian (wahai para sahabatku) tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka, (demikian pula) shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, (demikian pula) puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka (HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu)

Maka pada hadits yang pertama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan tidak masuk ke dalam hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu mereka tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam beribadah (karena memang para Sahabat radhiyallahu ‘anhum berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena takut tertimpa riya)

Yang kemudian prinsip ini diterapkan dengan benar oleh Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, tatkala kelompok khawarij keluar untuk memberontak dengan satu slogan yang mereka elu-elukan: “Tidak ada hukum selain hukum Allah ‘azza wa jalla“. Maka Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu yang sangat masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai pedoman dalam menilai suatu pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu: “(slogan mereka itu ) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”

Semoga Allah ‘azza wa jalla Merahmati Imam Abu Muhammad Al Barbahari yang mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya Syarhus Sunnah dengan ucapan beliau: “Perhatikan dan cermatilah -semoga Allah ‘azza wa jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali: Apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamradhiyallahu ‘anhu atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlussunnah? Kalau kamu dapati ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu ‘anhum berpegang teguhlah kamu dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam neraka!” (Syarhus Sunnah, tulisan Imam Al Barbahari hal.61, tahqiq Syaikh Khalid Ar Radadi). Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawuf ini.

Definisi Tasawuf/Sufi

Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal. 13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan: “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiyallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan peng- hidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf “fa’ “yang didobel). Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah ‘azza wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’ ” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘azza wa jalla, dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada (seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk (ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafazhnya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan -dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol)(Majmu’ul Fatawa, 11/5-6).

Lahirnya Ajaran Tasawuf

Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dariHasan Al Bashri” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).

Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya (Majmu’ Al Fatawa, 11/6).

Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka. (Talbis Iblis hal 161).

Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17) “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tasawwuf, hal. 13).

Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla, bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14).

Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15)

-bersambung insya Allah-

***

Syarat Agar Taubat Diterima

Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada Alloh dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar tobat sesaat yang diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali. Lalu bagaimanakah agar taubat seorang hamba itu diterima?

Syarat Taubat Diterima

Agar taubat seseorang itu diterima, maka dia harus memenuhi tiga hal yaitu:

(1) Menyesal, (2) Berhenti dari dosa, dan (3) Bertekad untuk tidak mengulanginya.

Taubat tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal maka menunjukkan bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi bahwa ia akan terus menerus melakukannya. Akankah kita percaya bahwa seseorang itu bertaubat sementara dia dengan ridho masih terus melakukan perbuatan dosa tersebut? Hendaklah ia membangun tekad yang kuat di atas keikhlasan, kesungguhan niat serta tidak main-main. Bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan syarat yang keempat, yaitu tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. sehingga kapan saja seseorang mengulangi perbuatan dosanya, jelaslah bahwa taubatnya tidak benar. Akan tetapi sebagian besar para ulama tidak mensyaratkan hal ini.

Tunaikan Hak Anak Adam yang Terzholimi

Jika dosa tersebut berkaitan dengan hak anak Adam, maka ada satu hal lagi yang harus ia lakukan, yakni dia harus meminta maaf kepada saudaranya yang bersangkutan, seperti minta diikhlaskan, mengembalikan atau mengganti suatu barang yang telah dia rusakkan atau curi dan sebagainya.

Namun apabila dosa tersebut berkaitan dengan ghibah (menggunjing), qodzaf (menuduh telah berzina) atau yang semisalnya, yang apabila saudara kita tadi belum mengetahuinya (bahwa dia telah dighibah atau dituduh), maka cukuplah bagi orang telah melakukannya tersebut untuk bertaubat kepada Alloh, mengungkapkan kebaikan-kebaikan saudaranya tadi serta senantiasa mendoakan kebaikan dan memintakan ampun untuk mereka. Sebab dikhawatirkan apabila orang tersebut diharuskan untuk berterus terang kepada saudaranya yang telah ia ghibah atau tuduh justru dapat menimbulkan peselisihan dan perpecahan diantara keduanya.

Nikmat Dibukanya Pintu Taubat

Apabila Alloh menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Alloh bukakan pintu taubat baginya. Sehingga ia benar-benar menyesali kesalahannya, merasa hina dan rendah serta sangat membutuhkan ampunan Alloh. Dan keburukan yang pernah ia lakukan itu merupakan sebab dari rahmat Alloh baginya. Sampai-sampai setan akan berkata, “Duhai, seandainya aku dahulu membiarkannya. Andai dulu aku tidak menjerumuskannya kedalam dosa sampai ia bertaubat dan mendapatkan rahmat Alloh.” Diriwayatkan bahwa seorang salaf berkata, “Sesungguhnya seorang hamba bisa jadi berbuat suatu dosa, tetapi dosa tersebut menyebabkannya masuk surga.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Dia berbuat suatu dosa, lalu dosa itu senantiasa terpampang di hadapannya. Dia khawatir, takut, menangis, menyesal dan merasa malu kepada Robbnya, menundukkan kepala di hadapan-Nya dengan hati yang khusyu’. Maka dosa tersebut menjadi sebab kebahagiaan dan keberuntungan orang itu, sehingga dosa tersebut lebih bermanfaat baginya daripada ketaatan yang banyak.”

***

Berandai-Andai Dalam Timbangan Tauhid

Saudaraku, semoga Alloh melimpahkan taufik kepada kita semua, kenyataan terkadang membuat seseorang harus menggigit jari. Karena apa yang diinginkannya tidak tercapai, maka mulailah pikirannya melayang-layang dan berandai-andai. Seandainya dulu begini, seandainya kemarin tidak begitu, dan seterusnya. Nah, bagaimanakah Islam memandang pengandaian?

Segala Sesuatu Terjadi Dengan Takdir

Iman kepada takdir adalah salah satu pilar Islam. Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi telah diketahui oleh Alloh sebelum hal itu terjadi. Dan Alloh juga telah memerintahkan pena takdir untuk mencatat segala peristiwa yang akan terjadi hingga hari kiamat 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Kehendak Alloh pasti terlaksana, tidak ada yang bisa mengelakkannya. Semua makhluk dan perbuatannya merupakan buah dari ciptaan-Nya. Hal ini tentu akan membuat hati seorang yang beriman merasakan ketentraman. Dia akan beramal sebaik-baiknya dan berprasangka baik kepada Alloh Ta’ala. Alloh sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Maka salah satu sifat yang harus dipunyai oleh seorang muslim ialah bersikap pasrah terhadap takdir dan tidak memprotes keputusan Alloh Ta’ala. Sehingga apabila musibah menimpa maka hati mereka merasa ridha terhadap perbuatan-Nya dan bersabar dalam menghadapi musibah. Inilah kewajiban kita.

Bersemangatlah!

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah untuk meraih segala hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan Alloh dan jangan lemah. Apabila engkau tertimpa sesuatu (yang tidak menyenangkan) janganlah berkata, ‘Seandainya aku dulu berbuat begini niscaya akan menjadi begini dan begitu’ Akan tetapi katakanlah, ‘QaddarAllohu wa maa syaa’a fa’ala, Alloh telah mentakdirkan, terserah apa yang diputuskan-Nya’. Karena perkataan seandainya dapat membuka celah perbuatan syaitan.” (HR. Muslim)

Imam Ibnu Qayyim rohimahulloh mengatakan, “Letak kebahagiaan manusia ialah pada semangatnya untuk meraih perkara yang bermanfaat bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Mewujudkan semangat adalah dengan cara mengerahkan segenap kesungguhan dan mencurahkan segenap kemampuan. Apabila seseorang yang sangat bersemangat menggeluti perkara yang bermanfaat baginya maka semangatnya itu layak untuk dipuji. Seluruh potensi kesempurnaan diri akan terwujud dengan tergabungnya kedua perkara ini: ia memiliki semangat yang menyala-nyala dan semangatnya itu dicurahkan kepada sesuatu yang bermanfaat baginya…”

Beliau rohimahulloh juga mengatakan, “Karena munculnya semangat dalam diri seseorang serta perbuatannya hanya bisa terwujud dengan pertolongan serta kehendak dan taufik dari Alloh maka beliau (Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) memerintahkan supaya (kita) meminta pertolongan-Nya. Demi tergabungnya maqam iyyaaka na’budu (melakukan peribadahan) dan maqam iyyaaka nasta’iin (memohon pertolongan) di dalam dirinya. Oleh karena semangat seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya termasuk ibadah kepada Alloh. Sedangkan hal itu tidak akan bisa diwujudkan kecuali dengan pertolongan Alloh. Maka beliau pun memerintahkan (kita) untuk beribadah dan sekaligus meminta pertolongan kepada-Nya.” (Ibthaalu tandiid, Syaikh Hamad bin’Atiq)

Hasil yang Tidak Memuaskan

Pahit…! Hasil yang kita idam-idamkan tidak menjadi kenyataaan. Sudah belajar mati-matian tapi kok tidak lulus ujian. Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap? Menjadi orang yang lemah ataukah menjadi sosok yang tabah? Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang kita merasa lemah. Karena perasaan lemah ketika tertimpa musibah akan membangkitkan celaan, protes serta kemarahan dan sedih di dalam diri. Padahal itu semua termasuk ulah syaithan. Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengucapkan “Seandainya demikian maka demikian” karena ucapan itu akan membuka celah munculnya hal-hal tersebut. Orang yang tabah menyadari bahwa semuanya sudah ditakdirkan. Dia tidak menyesali kesungguhan dan upaya yang sudah ditempuhnya. Oleh karenanya Nabi memerintahkan kita untuk berkata, “QaddarAllohu wa maa syaa’a fa’ala”. Biarlah terjadi karena memang itulah yang sudah ditakdirkan Alloh. Tiada gunanya mengeluh dan berandai-andai. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh mengatakan bahwa salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas ialah “Adanya larangan yang sangat tegas dari mengucapkan seandainya ketika musibah menimpa anda” (Kitab Tauhid). Pengandaian ini haram karena adanya unsur penyesalan, kesedihan dan tidak mau menerima kenyataan.

Macam-Macam Pengandaian

Para pembaca yang budiman, selain bentuk pengandaian yang telah disebutkan di atas, ada juga bentuk pengandaian terlarang yang lainnya yaitu apabila ditujukan untuk: (1) Menentang hukum syari’at. Seperti ucapan kaum munafik yang membelot dari pasukan kaum muslimin, “Seandainya mereka (para sahabat) menaati kami (membelot dan tidak taat kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) niscaya mereka tidak akan terbunuh (dalam perang Uhud)”. Ucapan ini haram dan bahkan bisa menjerumuskan ke dalam kekafiran (2) Menentang takdir. Seperti ucapan, “Seandainya aku tidak dilahirkan oleh ibuku”. Perkataan semacam ini haram karena di dalamnya terdapat penolakan terhadap takdir. (3) Beralasan dengan takdir untuk melegalkan kemaksiatan. Seperti perkataan orang-orang kafir, “Seandainya Alloh ingin niscaya kami tidak akan berbuat syirik” (Al An’aam: 148) Ini jelas batil dan haram hukumnya. (5) Untuk berangan-angan yang tercela. Misalnya dengan berkata, “Seandainya aku punya uang aku akan membeli khamr”. Maka dengan tekad dan ucapan semacam ini dia juga berdosa, sebagaimana orang yang benar-benar melakukannya mendapatkan dosa.

Akan tetapi ada pengandaian yang diperbolehkan: (1) Berandai-andai dalam mengangankan sesuatu yang terpuji. Misalnya mengatakan, “Seandainya saya punya harta saya akan bersedekah sebagaimana si fulan.” (2) Berandai-andai untuk sekedar mengabarkan keadaan. Sepeti perkataan, “Seandainya kamu tadi datang pelajaran niscaya kamu mendapatkan faidah yang berharga.” Seperti sabda Nabi, “Seandainya kaummu bukan orang yang baru masuk Islam niscaya akan aku pulihkan bangunan ka’bah di atas pondasi yang diletakkan oleh Ibrahim.” (lihat Al Qaul Al Mufid, Syaikh Al ‘Utsaimin dan Ibthaalu tandiid, Syaikh Hamad bin ‘Atiq rohimahumalloh)

Para pembaca yang mulia, sudah seyogyanya kita terapkan ilmu ini dalam keseharian kita. Ketika kita tidak berhasil memperoleh apa yang kita inginkan. Janganlah terbuai dengan pengandaian dan angan-angan. Karena hal itu akan membuka jalan syaithan untuk berkeliaran menusuk-nusuk hati kita dengan perasaan jengkel, protes dan marah terhadap takdir Alloh. Padahal kita tahu, Alloh Maha adil dan bijaksana. Bisa jadi musibah ini merupakan sebab terhindarnya kita dari bencana yang lebih dahsyat darinya. Alloh lebih tahu apa yang lebih bermanfaat bagi kita. Adapun kita, kita ini bodoh dan zalim. Maka marilah kita dalami lagi agama-Nya dan berintrospeksi diri sekali lagi. Perintah apa yang kita lalaikan, larangan apa yang kita terjang, dimanakah letak kekeliruan kita, jangan-jangan selama ini dosa kita sudah menggunung tanpa kita sadari, atau kita tidak ikhlas. Atau selama ini kita berusaha semata-mata mengandalkan diri sendiri dan lalai dari memohon pertolongan Alloh, sehingga Alloh pun membiarkan kita mengurusi diri kita sendiri. Nas’alulloha salamatan wal ‘afiyah.

***

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (1): Pengertian Bid’ah

[Bagian Pertama dari 4 Tulisan]

Saudaraku yang semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah, seringkali kita mendengar kata bid’ah, baik dalam ceramah maupun dalam untaian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, tidak sedikit di antara kita belum memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan bid’ah sehingga seringkali salah memahami hal ini. Bahkan perkara yang sebenarnya bukan bid’ah kadang dinyatakan bid’ah atau sebaliknya. Tulisan ini -insya Allah- akan sedikit membahas permasalahan bid’ah dengan tujuan agar kaum muslimin bisa lebih mengenalnya sehingga dapat mengetahui hakikat sebenarnya. Sekaligus pula tulisan ini akan sedikit menjawab berbagai kerancuan tentang bid’ah yang timbul beberapa saat yang lalu di website kita tercinta ini. Sengaja kami membagi tulisan ini menjadi empat bagian. Kami harapkan pembaca dapat membaca tulisan ini secara sempurna agar tidak muncul keraguan dan salah paham. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA

Saudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah ada.

Marilah kita renungkan hal ini pada firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Ma’idah [5] : 3)

Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah- berkata tentang ayat ini, “Inilah nikmat Allah ‘azza wa jalla yang tebesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3)

SYARAT DITERIMANYA AMAL

Saudaraku –yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110)

Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual (mantuq), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tidak tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor syari’at, maka amalan tersebut tertolak.

Dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yang bukan ajaran kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya berada dalam koridor syari’at. Oleh karena itu, syari’atlah yang nantinya menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77-78)

Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.

PENGERTIAN BID’AH

[Definisi Secara Bahasa]

Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)

Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman-Nya,

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)

[Definisi Secara Istilah]

Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ

Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).

Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ

Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)

Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,

وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ

“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)

Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)

Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)

Inilah sedikit muqodimah mengenai definisi bid’ah dan berikut kita akan menyimak beberapa kerancuan seputar bid’ah. Pada awalnya kita akan melewati pembahasan ‘apakah setiap bid’ah itu sesat?’. Semoga kita selalu mendapat taufik Allah.

***