Kamis, 25 Juni 2009

Menjadikan Kyai Sebagai Sesembahan Selain Allah

Alloh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita agar melaksakan taat kepada Alloh dan Rosul-Nya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh, taatilah Rosul-Nya dan pemimpin kalian.” (An Nisa’: 59)

Para ulama menjelaskan ayat di atas bahwa ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya merupakan ketaatan yang mutlak, sedangkan ketaatan kepada makhluk itu tergantung pada ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Jika makhluk itu mengajak kepada perbuatan maksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya, maka kita tidak boleh mengikutinya. Karena tidak ada taat kepada makhluk dalam maksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya. Sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada ketaatan kepada siapa pun dalam maksiat kepada Alloh, ketaatan hanyalah dalam perkara yang baik menurut syariat.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Tetapi apa yang terjadi pada kaum muslimin? Di antara mereka ada yang menentang perintah Alloh dan Rosul-Nya, menentang Al Qur’an, menentang sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam padahal dalil tersebut sudah jelas bagi mereka. Mereka lebih memilih pendapat pemimpin golongan mereka, orang yang mereka anggap sebagai wali, pendapat Pak Kyai atau orang alim meskipun jelas-jelas pendapat tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sampai-sampai mereka menghalalkan sesuatu yang Alloh Ta’ala haramkan, dan mengharamkan sesuatu yang Alloh Ta’ala halalkan demi mengikuti pendapat seseorang. Karena inilah mereka telah menjadikan tuhan-tuhan selain Alloh Ta’ala. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Mereka jadikan orang-orang alim dan rahib-rahib(pendta-pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Alloh.” (At Taubah: 31)

Kami Tidak Menyembah Mereka

Ketika mendengar ayat ini dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu yang dulu beragama nasrani berkata, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka”. Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bukankah mereka mengharamkan yang Alloh halalkan kemudian kalian ikut mengharamkannya, dan mereka menghalalkan yang Alloh haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya?” Kemudian sahabat Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu menjawab, “Ya!” Rosululloh berkata, “Itulah bentuk peribadatan kalian kepada mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Inilah yang disebut syirik dalam ketaatan. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad At-Tamimy rohimahulloh Ta’ala memasukan hadits di atas dalam Kitab Tauhid karya beliau pada bab: Barang siapa yang menaati ulama dan pemimpin dalam mengharamkan yang dihalalkan oleh Alloh dan menghalalkan yang diharamkan oleh Alloh, maka dia telah menjadikannya sebagai tuhan-tuhan selain Alloh.

Marah Karena Alloh Ta’ala

Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma berkata, “Hujan batu dari langit akan segera menimpa kalian. Aku katakan, ‘Rosululloh berkata demikian-demikian’, namun kalian mengatakan, ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian’.” Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma marah karena ada yang menentang perkataan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar rodhiyallohu ‘anhuma. Padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menginformasikan bahwa mereka berdua termasuk penghuni surga, bahkan Abu Bakar dan Umar rodhiyallohu ‘anhuma adalah orang yang paling utama di antara umat ini dan orang yang pendapat-pendapatnya lebih mendekati kebenaran. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mentaati Abu Bakar dan Umar, kalian akan mendapat petunjuk.” (HR Muslim). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Kalian wajib mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, peganglah dan gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Hatim, shohih)

Jadi apabila ada yang menentang perkataan atau hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar saja terlarang, bagaimana lagi jika menentang hadits Rosululloh dengan pendapat atau perkataan selain mereka berdua? Tentunya lebih terlarang lagi. (Lihat Al Qoulul Mufid 2/88-89).

Perkataan Ulama’ Tentang Menentang Hadits

1. Imam Abu Hanifah rohimahullohu

1. “Tidak halal bagi seorang pun untuk mengambil perkataan kami jika dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”.
2. “Jika saya menyampaikan perkataan yang bertentangan dengan Kitabulloh dan hadits Rosululloh, maka tinggalkanlah perkataanku”.

2. Imam Malik rohimahullohu

1. “Sesungguhnya saya hanyalah manusia, kadang salah dan kadang benar, maka telitilah pendapatku. Yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah ambillah dan yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah tinggalkanlah”.
2. “Pendapat semua orang dapat diterima atau ditolak kecuali perkataan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam”.

3. Imam Syafi’i rohimahullohu

1. “Jika suatu hadits itu shohih, maka itulah pendapatku”.
2. “Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa jika ada yang mengetahui hadits Rosululloh, maka dia tidak boleh meninggalkannya karena mengikuti pendapat seseorang”.

Imam Ahmad rohimahullohu

1. “Janganlah engkau mengekor kepadaku, Malik, Syafi’i, Auza’i, dan Ats-Tsaury. Ambillah dari sumber mereka mengambil”.
2. “Barang siapa menolak hadits Rosululloh maka dia dalam jurang kehancuran”. (Lihat Sifat Sholat Nabi hal 47-53).

Demikianlah perkataan para ulama yang melarang kita menentang hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan pendapat seseorang. Maka sudah sepantasnya bagi kita untuk memperhatikan hal ini. Hanya kepada Alloh Ta’ala kita memohon supaya kita termasuk orang-orang yang selalu mendahulukan perkataan Alloh dan Rosul-Nya dari pada perkataan manusia, dan menjadikan kita selalu berpegang teguh dengan sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohul Musta’an.

***

Mas, Kok Tidak Sholat Berjama’ah?

Sebagian besar masjid-masjid kaum muslimin saat ini kita lihat kosong dari jama’ah. Pemandangan ini hampir merata kita temui di setiap tempat, baik di desa maupun di kota. Inilah buah dari kekurangfahaman mereka dalam ilmu syariat, khususnya yang berkaitan dengan hukum sholat berjama’ah. Sehingga bila kita tanyakan kepada seseorang, “Mengapa tidak sholat di masjid, kok malah sholat di rumah?”, boleh jadi ia menjawab, “Ah, itu kan cuma sunnah saja…” Subhanalloh!!, semoga Alloh memahamkan kepada kaum muslimin tentang syariat yang mulia ini.

Apa Hukum Sholat Berjama’ah?

Ketahuilah, bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini ialah sholat berjamaah itu wajib (bagi laki-laki, adapun bagi kaum wanita, sholat di rumah lebih baik daripada sholat di masjid walaupun secara berjama’ah). Inilah pendapat yang disokong oleh dalil dalil yang kuat dan merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in, serta para imam madzhab (Kitabus Sholat karya Ibnul Qoyyim).

Perintah Alloh Ta’ala Untuk Sholat Berjamaah dan Ancaman Nabi Yang Sangat Keras Bagi Yang Meninggalkannya

“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ (dalam keadaan berjamaah).” (Al Baqoroh: 43). Perhatikanlah wahai saudaraku, konteks kalimat dalam ayat ini adalah perintah, dan hukum asal perintah adalah wajib. Rosululloh telah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku yang ada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan sholat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhori)

Hadits di atas menunjukkan wajibnya (fardhu ain) sholat berjama’ah, karena jika sekedar sunnah niscaya beliau tidak sampai mengancam orang yang meninggalkannya dengan membakar rumah. Rosululloh tidak mungkin menjatuhkan hukuman semacam ini pada orang yang meninggalkan fardhu kifayah, karena sudah ada orang yang melaksanakannya. (Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqolani)

Diriwayatkan dari Abu Huroiroh, seorang lelaki buta datang kepada Rosululloh dan berkata, “Wahai Rosululloh, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rosululloh untuk tidak sholat berjama’ah dan agar diperbolehkan sholat di rumahnya. Kemudian Rosululloh memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki itu telah beranjak, Rosululloh memanggilnya lagi dan bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?”, Ia menjawab, “Ya”, Rosululloh bersabda, “Penuhilah seruan (adzan) itu.” (HR. Muslim). Perhatikanlah, jika untuk orang buta saja yang tidak memiliki penunjuk jalan itu tidak ada rukhsoh (keringanan) baginya, maka untuk orang yang normal lebih tidak ada rukhsoh lagi baginya.” (Al Mughni karya Ibnu Qudamah).

Hanya Munafik Saja Yang Sengaja Meninggalkan Sholat Jama’ah

Sahabat besar Ibnu Mas’ud rodhiyallohu’anhu berkata tentang orang-orang yang tidak hadir dalam sholat jama’ah: “Telah kami saksikan (pada zaman kami), bahwa tidak ada orang yang meninggalkan sholat berjama’ah kecuali orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya atau orang yang sakit”. Lalu bagaimana seandainya Ibnu Mas’ud hidup di zaman kita sekarang ini, apa yang akan beliau katakan???

(Disarikan oleh Abu Hudzaifah Yusuf dari terjemah kitab Sholatul Jama’ah Hukmuha wa Ahkamuha karya Dr. Sholih bin Ghonim As-Sadlan)

***

Pengeboman = Jihad???


Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh syari’at merupakan sikap ekstrim yang ujung-ujungnya adalah tertumpahnya darah kaum muslimin secara semena-mena. Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan). Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama (Lembaga Perkumpulan Tokoh-Tokoh Ulama Saudi Arabia), pada pertemuannya yang ke-49 di Thaif telah mengkaji apa yang terjadi di banyak negeri Islam dan negeri lain, tentang takfir dan tafjir serta dampak yang ditimbulkan, baik berupa penumpahan darah maupun perusakan fasilitas-fasilitas umum. Beliau-beliau akhirnya menyampaikan penjelasan secara tertulis yang kami ringkas sebagai berikut.

Takfir (Menetapkan Hukum Kafir) Merupakan Hukum Syar’i

Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, maka penetapan hukum kafir juga harus dikembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Tidak setiap perkataan atau perbuatan yang disebut kufur berarti Kufur Akbar yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama. Mengkafirkan seseorang tidak boleh dilakukan kecuali bila Al-Qur’an dan Sunnah telah membuktikan kekafirannya dengan bukti yang jelas, sehingga tidak cukup berdasarkan dugaan saja.

Itulah sebabnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya agar jangan sampai mengkafirkan orang yang tidak kafir. Beliau bersabda yang artinya, “Siapapun orangnya yang mengatakan kepada saudaranya ‘Hai Kafir’, maka perkataan itu akan mengenai salah satu diantara keduanya. Jika perkataan itu benar, (maka benar). Tetapi bila tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada diri orang yang mengatakannya.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar)

Vonis kafir hanya bisa ditetapkan bila sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada, dan faktor penghalangnya tidak ada. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat-syarat tersebut yaitu bila orang tersebut: (1) Mengetahui atau memahami apa yang diucapkannya, maka bila ia (2) Dengan senang hati/ tidak terpaksa dan (3) Sengaja dalam mengucapkan apa yang dikatakannya; maka inilah yang perkataannya teranggap sebagai pembataal keislaman. Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin lancang menetapkan hukum kafir hanya berdasarkan dugaan??

Apabila ternyata tuduhan kafir ini ditujukan kepada para penguasa (muslim), maka persoalannya jelas lebih parah lagi. Akibatnya akan menimbulkan sikap pembangkangan terhadap penguasa, angkat senjata melawan mereka, kekacauan, menumpahkan darah dan membuat keonaran di tengah-tengah masyarakat. Karena itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang pemberontakan kepada penguasa. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “….kecuali bila kalian lihat kekafiran yang nyata, yang tentangnya kalian memiliki bukti yang jelas dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Ubaidah)

Dampak Mudah Mengkafirkan

Yaitu menumpahkan darah, melanggar kehormatan orang lain, merampas harta milik orang-orang tertentu atau orang umum, peledakan tempat-tempat pemukiman serta angkutan-angkutan umum dan perusakan bangunan-bangunan. Kegiatan-kegiatan ini dan yang semisalnya adalah haram menurut syari’at berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Berkenaan dengan jiwa orang kafir yang berada dalam jaminan keamanan dari pemerintah, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian (damai), maka ia tidak akan mencium baunya sorga.” (Muttafaq ‘alaih dari Abdullah bin Amr)

***

Empat Kaidah Utama Dalam Memahami Tauhid

Empat Kaidah Utama Dalam Memahami Tauhid

Aku memohon kepada Allah Al Karim Rabb pemilik Arsy yang agung semoga Dia melindungimu di dunia dan di akhirat. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu diberkahi di manapun kamu berada. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu termasuk di antara orang-orang yang bersyukur apabila diberi kenikmatan, bersabar ketika tertimpa cobaan, dan meminta ampunan tatkala terjerumus dalam perbuatan dosa, karena ketiga hal itulah tonggak kebahagiaan.

Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya, Al Hanifiyah yaitu agama yang diajarkan oleh Ibrahim ialah beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama (amal) untuk-Nya. Itulah perintah yang Allah berikan kepada segenap umat manusia dan hikmah penciptaan mereka.

Sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56). Apabila kamu telah menyadari bahwa kamu diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya suatu ibadah tidaklah dianggap bernilai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya shalat yang tidak bisa disebut shalat apabila tidak disertai dengan thaharah (keadaan suci pada diri pelakunya, pen). Maka apabila syirik menyusupi suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi rusak. Sebagaimana apabila ada hadats yang muncul pada diri orang yang sudah bersuci.

Apabila kamu sudah mengerti ternyata syirik itu apabila menyusupi ibadah akan menghancurkan ibadah tersebut dan menghapuskan amal, bahkan orang yang melakukannya menjadi tergolong penghuni kekal neraka, maka kini kamu pun telah mengerti bahwa perkara terpenting bagimu adalah memahami seluk beluknya. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan dirimu dari jebakan perangkap ini; yaitu kesyirikan terhadap Allah. Allah ta’ala berfirman tentang syirik ini (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik yaitu bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ [4]: 48). Dan hal itu akan mudah kamu mengerti dengan mempelajari empat buah kaidah yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam kitab-Nya:

Kaidah Pertama

Hendaknya kamu mengerti bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah ta’ala sebagai pencipta dan pengatur segala urusan. Sedangkan pengakuan mereka ini tidaklah membuat mereka tergolong orang Islam. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah, Siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi. Atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan. Dan siapakah yang mampu mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan siapakah yang mengatur segala urusan, maka pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka katakanlah, ‘Lantas mengapa kalian tidak mau bertakwa?’.” (QS. Yunus [10]: 31)

Kaidah Kedua

Orang-orang musyrik tersebut mengatakan, “Kami tidaklah berdoa kepada mereka (sesembahan selain Allah, pen) dan bertawajjuh (menggantungkan harapan) kepada mereka melainkan hanya dalam rangka mencari kedekatan diri (di sisi Allah, pen) dan untuk mendapatkan syafa’at.”

Dalil yang menunjukkan bahwa mereka bertujuan mencari kedekatan diri adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengangkat selain-Nya sebagai penolong (sesembahan, pen) beralasan, ‘Kami tidaklah beribadah kepada mereka kecuali karena bermaksud agar mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah pasti akan memberikan keputusan di antara mereka terhadap perkara yang mereka perselisihkan itu. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang gemar berdusta dan suka berbuat kekafiran.” (QS. Az Zumar [39]: 3)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka juga mengharapkan syafaat dengan kesyirikan yang mereka perbuat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada selain Allah; sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan bahaya untuk mereka dan tidak pula menguasai manfaat bagi mereka. Orang-orang itu beralasan, ‘Mereka adalah para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah kelak.’.” (QS. Yunus [10]: 18)

Syafa’at ada dua macam:

Syafa’at yang ditolak dan syafa’at yang ditetapkan.

1. Syafa’at yang ditolak adalah syafa’at yang diminta kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rezeki yang Kami berikan kepada kalian sebelum tiba suatu hari yang pada saat itu tidak ada lagi jual beli, persahabatan, dan syafa’at. Sedangkan orang-orang kafir, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah [2]: 254)
2. Syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta kepada Allah. Orang yang diperkenankan memberikan syafa’at berarti mendapatkan pemuliaan dari Allah dengan syafa’at tersebut. Adapun orang yang akan diberi syafa’at adalah orang yang ucapan dan perbuatannya diridhai Allah, dan hal itu akan terjadi setelah mendapatkan izin (dari Allah, pen). Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Lalu siapakah yang bisa memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya?”. (QS. Al Baqarah [2]: 255)

Kaidah Ketiga

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di tengah-tengah masyarakat yang memiliki peribadatan yang beraneka ragam. Di antara mereka ada yang beribadah kepada malaikat. Ada pula yang beribadah kepada para nabi dan orang-orang saleh. Ada juga di antara mereka yang beribadah kepada pohon dan batu. Dan ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan. Mereka semua sama-sama diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa sedikitpun membeda-bedakan di antara mereka. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan perangilah mereka semua hingga tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama (amal) semuanya hanya diperuntukkan kepada Allah.” (QS. Al Anfaal [8]: 39)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada matahari dan bulan adalah firman-Nya (yang artinya), “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kamu sujud kepada matahari ataupun bulan. Akan tetapi sujudlah kamu kepada Allah yang menciptakan itu semua, jika kamu benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 37)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para malaikat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan Allah tidak menyuruh kamu untuk mengangkat para malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan.” (QS. Al ‘Imran [3]: 80)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para nabi adalah firman-Nya yang artinya, “Ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sosok sesembahan selain Allah’? Maka Isa berkata, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, tidak pantas bagiku untuk berucap sesuatu yang bukan menjadi hakku. Apabila aku mengucapkannya tentunya Engkau pasti mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.’.” (QS. Al Maa’idah [5]: 116)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada orang-orang salih adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang artinya), “Sosok-sosok yang mereka seru justru mencari wasilah kepada Rabb mereka; siapakah di antara mereka yang lebih dekat, dan mereka juga sangat mengharapkan curahan rahmat-Nya dan merasa takut dari azab-Nya.” (QS. Al Israa’ [17]: 57)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada pohon dan batu adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang artinya), “Kabarkanlah kepada-Ku tentang Latta, ‘Uzza, dan juga Manat yaitu sesembahan lain yang ketiga.” (QS. An Najm [53]: 19-20). Demikian juga ditunjukkan oleh hadits Abu Waqid Al Laitsi radhiyallahu’anhu. Beliau menuturkan, “Ketika kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Ketika itu kami masih dalam keadaan baru keluar dari agama kekafiran. Orang-orang musyrik ketika itu memiliki sebatang pohon yang mereka jadikan sebagai tempat i’tikaf dan tempat khusus untuk menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut Dzatu Anwath. Ketika itu, kami melewati pohon tersebut. Lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami sebatang Dzatu Anwath seperti Dzatu Anwath yang mereka miliki.’.” (HR. Tirmidzi [2181], Ahmad dalam Musnadnya [5/218]. Tirmidzi mengatakan: hadits hasan sahih)

Kaidah Keempat

Orang-orang musyrik pada masa kita justru lebih parah kesyirikannya daripada orang-orang musyrik zaman dahulu. Sebab orang-orang terdahulu hanya berbuat syirik di kala lapang dan beribadah (berdoa) dengan ikhlas di kala sempit. Adapun orang-orang musyrik di masa kita melakukan syirik secara terus menerus, baik ketika lapang ataupun ketika terjepit. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apabila mereka sudah naik di atas kapal (dan diterpa ombak yang hebat, pen) maka mereka pun menyeru (berdoa) kepada Allah dengan penuh ikhlas mempersembahkan amalnya. Namun setelah Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka kembali berbuat kesyirikan.” (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 65)

Selesai, semoga shalawat dan doa keselamatan senantiasa tercurah kepada Muhammad, segenap pengikutnya, dan terutama para sahabatnya.

Masa Muda, Waktu Utama Beramal Sholeh

Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-senang. Sebagian mereka mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar dan berserah diri.


Wahai Pemuda, Hidup di Dunia Hanyalah Sementara

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ , أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)

Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia.

Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.” (Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224)

Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadits ini mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan berpanjang angan-angan. Hadits ini juga mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,

ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ

“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)

Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Datang Waktu Tuamu

Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)

Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.”

Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.”

Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatklah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.”

Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: “Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.”

Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”

Al Munawi mengatakan,

فَهِذِهِ الخَمْسَةُ لَا يَعْرِفُ قَدْرَهَا إِلاَّ بَعْدَ زَوَالِهَا

“Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.” (At Taisir Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356)

Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi nikmat sehat, ketika dia merasakan sakit. Dia baru ingat diberi kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu semangat untuk beramal di masa muda, setelah dia nanti berada di usia senja yang sulit beramal. Penyesalan tidak ada gunanya jika seseorang hanya melewati masa tersebut dengan sia-sia.

Orang yang Beramal di Waktu Muda Akan Bermanfaat untuk Waktu Tuanya

Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu [1] Baitul Maqdis yang terdapat buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam-, [2] Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, [3] Negeri Mekah yang aman, tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95]: 4-6)

Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini dipilh oleh ‘Ikrimah.

“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah “dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal.” Masa tua adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua. Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.

An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka akan dicatat untuknya pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan pada saat muda. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”

Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka, walaupun mereka tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui, seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak akan berhenti untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)
Begitu juga kita dapat melihat pada surat Ar Ruum ayat 54.

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)

Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala menceritakan mengenai fase kehidupan, tahap demi tahap. Awalnya adalah dari tanah, lalu berpindah ke fase nutfah, beralih ke fase ‘alaqoh (segumpal darah), lalu ke fase mudh-goh (segumpal daging), lalu berubah menjadi tulang yang dibalut daging. Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia keluar dari perut ibunya dalam keadaan lemah, kecil dan tidak begitu kuat. Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga menjadi seorang bocah kecil. Lalu berkembang lagi menjadi seorang pemuda, remaja. Inilah fase kekuatan setelah sebelumnya berada dalam keadaan lemah. Lalu setelah itu, dia menginjak fase dewasa (usia 30-50 tahun). Setelah itu dia akan melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh uban. Inilah fase lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada fase inilah berkurangnya semangat dan kekuatan. Juga pada fase ini berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban”.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada surat Ar Ruum ayat 54)

Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan.

Jika engkau masih berada di usia muda, maka janganlah katakan: jika berusia tua, baru aku akan beramal.

Daud Ath Tho’i mengatakan,

إنما الليل والنهار مراحل ينزلها الناس مرحلة مرحلة حتى ينتهي ذلك بهم إلى آخر سفرهم ، فإن استطعت أن تـُـقدِّم في كل مرحلة زاداً لما بين يديها فافعل ، فإن انقطاع السفر عن قريب ما هو ، والأمر أعجل من ذلك ، فتزوّد لسفرك ، واقض ما أنت قاض من أمرك ، فكأنك بالأمر قد بَغَـتـَـك

Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia sampai dia berada pada akhir perjalanannya. Jika engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka lakukanlah. Berakhirnya safar boleh jadi dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri akhirat). Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, kematian itu datangnya tiba-tiba. (Kam Madho Min ‘Umrika?, Syaikh Abdurrahman As Suhaim)

Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11]: 88)

Semoga Allah memperbaiki keadaan segenap pemuda yang membaca risalah ini. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.

Sabtu Pagi, 17 Rabi’ul Awwal 1430 H
Yang sangat butuh pada ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal

***

Nasihat Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin: Manakah yang Lebih Utama?

Nasihat Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin: Manakah yang Lebih Utama?

Para pembaca yang budiman semoga Allah merahmati saya dan anda semua. Dalam menghadapi realita yang ada terkadang kita dihadapkan kepada dua pilihan yang terasa sulit untuk ditentukan. Melakukan ini ataukah yang itu. Apabila pilihan yang satu diambil maka ada perkara penting dan maslahat yang luput dari kita. Namun sebaliknya, apabila kita meninggalkannya kita juga akan kehilangan sesuatu yang tidak kalah pentingnya dan bahkan mungkin bisa jadi lebih banyak mengundang pahala.

Nah, di antara segepok persoalan yang dihadapi oleh umat ini kami ingin mengangkat dua buah permasalahan yang akhir-akhir ini mulai banyak diabaikan oleh orang. Masalah pertama terkait dengan jihad di medan perang membela agama Allah. Sedangkan masalah kedua terkait dengan keberadaan orang-orang yang shalih di daerah yang subur dengan kemaksiatan dan kejahatan. Disamping itu ada sebuah pelajaran dakwah yang sangat berharga yang disampaikan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin untuk kita semua. Sudah seyogyanya kita merenungkan dan mengambil pelajaran dari nasihat beliau rahimahullahu wa askanahu fil jannah (semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya di dalam surga). Selamat menyimak.

Masalah Pertama: Manakah yang lebih utama, menekuni ilmu ataukah terjun ke medan jihad di jalan Allah?

Ketika menjawab pertanyaan ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Adapun ilmu karena keberadaannya sebagai ilmu maka dia itu lebih utama daripada berjihad di jalan Allah. Karena seluruh umat manusia senantiasa memerlukan ilmu. Sehingga Imam Ahmad pun mengatakan, ‘Ilmu itu tidak akan bisa ditandingi oleh apapun, yaitu bagi orang yang niatnya benar.’ Selain itu hukum jihad tidaklah mungkin menjadi sesuatu yang wajib ‘ain secara terus menerus. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, ‘Dan tidak selayaknya orang-orang yang beriman itu pergi berjihad semuanya.’ (QS. At Taubah: 22). Seandainya hukumnya adalah fardhu ‘ain maka niscaya dia akan menjadi kewajiban yang ditanggung oleh setiap komponen umat Islam. ‘Karena seharusnya ada sekelompok orang dari setiap kaum.’ (QS. At Taubah: 122), artinya hendaknya ada sebagian orang yang tetap tinggal, ‘Dalam rangka mendalami ilmu agama, dan juga agar mereka bisa memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali (dari berjihad), supaya mereka berhati-hati.’ (QS. At Taubah: 122)

“Meskipun demikian hukum ini berbeda-beda penerapannya tergantung dengan individu pelakunya dan keadaan waktu yang dialami. Sehingga bisa jadi kepada seseorang kita katakan bahwa yang lebih utama bagi anda adalah berjihad. Dan kepada orang lain kita katakan bahwa yang lebih utama bagi anda adalah menekuni ilmu. Apabila dia tergolong orang yang gagah berani dan kuat serta penuh semangat dan kurang begitu cerdas maka maka amal yang lebih utama baginya adalah berjihad karena itulah yang lebih cocok baginya. Sedangkan apabila ternyata dia adalah seseorang yang cerdas dan kuat hafalannya serta memiliki kekuatan dalam berargumentasi maka amal yang lebih utama baginya adalah menekuni ilmu. Hal ini apabila ditinjau dari sisi pelakunya.

Adapun apabila dilihat dari sisi waktu, maka apabila kita berada pada masa dimana para ulama saat itu jumlahnya sudah banyak sementara kawasan perbatasan sangat membutuhkan para penjaga garis perbatasan maka ketika itu yang lebih utama adalah terjun ke medan jihad. Adapun apabila kita berada pada suatu masa dimana saat itu begitu banyak kebodohan dan kebid’ahan yang banyak bertebaran dan mencuat ke permukaan di tengah-tengah masyarakat maka ketika itu yang lebih utama adalah menekuni ilmu.

Dengan demikian di sana terdapat tiga perkara yang harus diperhatikan baik-baik oleh para penuntut ilmu, yaitu:

Pertama, berbagai kebid’ahan yang sudah mulai menampakkan kejelekan-kejelekannya.

Kedua, fatwa yang dikeluarkan tanpa ilmu.

Ketiga, terjadinya perdebatan dalam banyak masalah yang tidak berlandaskan ilmu.

Dan apabila ternyata tidak bisa ditemukan alasan lain yang bisa menguatkan mana yang lebih baik maka menekuni ilmu itulah yang lebih utama.” (Syarah Arba’in, hal. 16).

Masalah Kedua: Manakah yang lebih utama, berhijrah ataukah tinggal di negeri fasik?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah ketika menanggapi pertanyaan tentang hukum hijrah wajib ataukah sunnah maka beliau mengatakan:

“Dalam hal ini ada perincian. Apabila seseorang sanggup menampakkan agamanya dan memperlihatkannya secara terang-terangan serta tidak ada penghalang yang menghambatnya untuk itu, maka dalam kondisi ini hijrah hukumnya sunnah baginya. Adapun apabila ternyata dia tidak sanggup (menampakkan agamanya) maka berhijrah hukumnya wajib, dan inilah batasan untuk membedakan antara yang sunnah dengan yang wajib. Hukum tersebut berlaku apabila negeri tersebut adalah negeri kafir. Adapun di negeri fasik yaitu suatu negeri yang kefasikan dilakukan secara terang-terangan dan dipertontonkan, maka kami katakan kepadanya; apabila seseorang merasa khawatir terhadap keselamatan dirinya dari ikut terjerumus dalam kemaksiatan yang banyak dilakukan oleh penduduk negeri tersebut maka dalam kondisi ini hukum hijrah adalah wajib baginya. Apabila dia tidak khawatir atas hal itu maka hukum hijrah tidak sampai derajat wajib baginya.

Bahkan bisa saja kami katakan bahwa apabila dengan keberadaannya di sana memberikan maslahat dan upaya perbaikan maka hukum tinggal di sana baginya adalah wajib karena kebutuhan penduduk negeri tersebut kepadanya dalam rangka menegakkan perbaikan, menggalakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Dan sungguh aneh ada sebagian orang yang sengaja meninggalkan negeri Islam (mungkin maksud beliau negeri Islam yang kefasikan banyak bertebaran, pent) dan justru berpindah ke negeri kafir. Sebab apabila orang-orang yang mampu melakukan perbaikan pergi dari sana lalu siapakah yang akan tetap tinggal untuk mendakwahi orang-orang yang gemar berbuat kerusakan dan kemaksiatan itu. Bahkan terkadang kondisi negeri itu akan lebih bertambah parah gara-gara sedikitnya jumlah orang yang melakukan perbaikan dan banyaknya jumlah orang yang melakukan kerusakan dan kemaksiatan. Namun apabila dia masih mau tinggal dan menjalankan dakwah ilallah sesuai dengan keadaannya maka tentunya kelak dia akan sanggup memperbaiki orang-orang lain. Dan orang yang diajaknya itu juga akan mengajak orang lainnya lagi kepada kebaikan sampai pada suatu saat orang-orang yang tinggal di situ akan menjadi baik berkat dakwah mereka.

Apabila mayoritas orang sudah baik maka secara umum orang-orang yang menduduki tampuk pemerintahan pun akan ikut menjadi baik meskipun hal itu terjadi dengan jalan tekanan atau keterpaksaan. Akan tetapi ada satu permasalahan yang justru memperburuk keadaan ini. Dan sungguh menyedihkan, ternyata sumbernya adalah orang-orang shalih itu sendiri. Kalian dapatkan orang-orang shalih itu justru bergolong-golongan, berpecah belah serta tercerai berai kesatuan mereka hanya karena perselisihan dalam beberapa persoalan hukum agama yang perbedaan pendapat masih dimaafkan di dalamnya, inilah yang terjadi sebenarnya. Terlebih lagi di negeri-negeri yang ajaran Islam belum bisa diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Sehingga terkadang mereka terjerumus dalam sikap saling memusuhi, saling membenci dan saling memboikot hanya gara-gara permasalahan mengangkat tangan ketika shalat (i’tidal).

Saya akan menceritakan kepada kalian sebuah kisah nyata yang saya alami sendiri ketika berada di Mina. Pada suatu hari, seorang direktur bimbingan haji datang menemui saya bersama dengan dua rombongan jama’ah haji berkebangsaan Afrika dimana salah satu dari mereka mengkafirkan yang lainnya. Lalu apakah yang menjadi alasannya ?? Maka sang direktur menceritakan; salah satu diantara keduanya mengatakan bahwa amal yang sunnah dilakukan oleh orang yang sedang shalat ketika berdiri (i’tidal) adalah meletakkan kedua tangannya di atas dada. Sedangkan orang yang satunya mengatakan yang sunnah itu adalah membiarkan kedua tangan terjulur ke bawah. Padahal permasalahan ini adalah perkara hukum cabang yang mudah dan bukan tergolong masalah fundamental dan furu’ (saya tidak paham apa maksud penambahan kata furu’ oleh Syaikh di sini, pent). Mereka (rombongan yang satunya) membantah orang itu seraya mengatakan: ‘Ah, bukan demikian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan termasuk golonganku.” Dan ini merupakan kekafiran yang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai berlepas diri darinya.’ Maka berdasarkan pemahaman yang keliru inilah rombongan yang satu mengkafirkan rombongan yang lainnya.

Namun catatan terpenting (dari kisah ini) adalah sebagian penyeru kebaikan di negeri-negeri yang ajaran Islamnya belum kokoh terpatri di masyarakat justru terjatuh dalam tindakan saling mencap ahli bid’ah dan tukang maksiat kepada sesama saudaranya. Kalau saja mereka mau bersatu padu dan kalaupun tetap berbeda pendapat namun dada mereka tetap merasa lapang terhadap adanya perselisihan yang memang masih diperkenankan dan mereka itu tetap berada dalam sebuah kesatuan maka niscaya kondisi umat pun akan semakin bertambah baik. Akan tetapi bagaimana apabila ternyata ummat justru melihat orang-orang yang berupaya memperbaiki keadaan dan berjalan di atas garis istiqamah ini malah menyuburkan rasa dengki dan perselisihan dalam berbagai persoalan agama di antara sesama mereka, maka niscaya umat akan berbalik meninggalkan mereka beserta kebaikan dan petunjuk yang mereka bawa. Bahkan bisa jadi hal itu menyebabkan mereka berbalik kepada keburukan lagi (alias futur, pent), dan inilah kenyataan yang terjadi, wal ‘iyaadzu billaah.

Sehingga anda pun bisa melihat, ada seorang pemuda yang baru saja menempuh jalan keistiqamahan dengan anggapan di dalam dirinya bahwa ajaran agama itu penuh dengan kebaikan, petunjuk, kelapangan dada dan membuahkan ketenangan hati kemudian dia melihat realita perselisihan, pertentangan, kebencian dan permusuhan yang terjadi diantara orang-orang yang istiqamah maka akhirnya diapun memilih untuk meninggalkan jalur keistiqamahan gara-gara dia tidak berhasil menemukan apa yang dia cari.

Kesimpulannya, hukum hijrah dari negeri kafir tidaklah sama dengan hukum hijrah dari negeri fasik. Sehingga terkadang bisa dikatakan kepada seseorang; bersabarlah dan harapkanlah pahala (tidak usah pergi) apalagi jika ternyata anda adalah orang yang sanggup melakukan upaya perbaikan. Dan bahkan bisa jadi dikatakan kepadanya bahwa sebenarnya hukum berhijrah bagimu adalah haram.” (Syarah Arba’in, hal. 17-18).

***

Modal Utama Meraih Kemenangan di Palestina (2)

Problema Ketiga:

Permasalahan selanjutnya adalah adanya perbedaan hati. Inilah sebab terbesar yang membuat umat Islam semakin rendah. Mereka semakin lemah di hadapan musuh-musuh mereka. Kekuatan mereka pun sirna, begitu pula dengan kekuasaan mereka pun hilang. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,

وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ

“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (QS. Al Anfal: 46)


Jika engkau melihat umat Islam saat ini di berbagai penjuru dunia, mereka menyembunyikan permusuhan dan kebencian satu dan lainnya, namun senyatanya keramahan yang ada pada mereka hanyalah pura-pura saja. Mereka mungkin terlihat saling ramah, namun dalam hati mereka sebenarnya terdapat perselisihan.

Allah Ta’ala telah menerangkan hal ini dalam Surat Al Hasyr bahwa sebab penyakit perpecahan di tengah-tengah umat ini terjadi karena kurangnya akal. Allah Ta’ala berfirman,

تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى

“Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah.” Kemudian setelah itu, Allah menyebutkan sebab kenapa hati mereka bisa terpecah (berselisih) yaitu dalam firman-Nya,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ

“Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al Hasyr: 14)

Telah kita ketahui bersama bahwa penyakit lemahnya akal yang menimpa kaum muslimin, membuat mereka menjadi lemah dalam memahami hakikat, juga sulit membedakan antara yang benar dan yang bathil, yang manfaat dan yang membahayakan, serta membedakan antara yang baik dan yang jelek. Tidak ada obat untuk penyakit ini selain cahaya wahyu. Cahaya wahyu inilah yang nanti akan menghidupkan hati-hati yang mati dan menerangi jalan jika berpegang dengannya. Akhirnya dengan cahaya wahyu seseorang akan terbuka matanya, sehingga dia dapat melihat yang benar itu nampak benar, yang keliru itu nampak keliru, yang bermanfaat itu nampak bermanfaat, yang bahaya itu akan nampak berbahaya.

Allah Ta’ala berfirman,

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (QS. Al An’am: 122)

Allah Ta’ala juga berfirman,

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آَمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (QS. Al Baqarah: 257)

Barangsiapa keluar dari kegelapan menuju cahaya, maka dia akan melihat kebenaran. Karena cahaya inilah yang akan membuat seseorang melihat kenyataan sehingga dia dapat mengetahui yang benar itu benar dan yang bathil itu bathil.

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ يَمْشِي مُكِبًّا عَلَى وَجْهِهِ أَهْدَى أَمْ مَنْ يَمْشِي سَوِيًّا عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS. Al Mulk: 22)

وَمَا يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ (19) وَلَا الظُّلُمَاتُ وَلَا النُّورُ (20) وَلَا الظِّلُّ وَلَا الْحَرُورُ (21) وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ

“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas, dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.” (QS. Fathir: 19-22)

مَثَلُ الْفَرِيقَيْنِ كَالْأَعْمَى وَالْأَصَمِّ وَالْبَصِيرِ وَالسَّمِيعِ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا

“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.” (QS. Hud: 24)

Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan bahwa dengan iman, seseorang bisa memperoleh kehidupan sebagai ganti dari kematian dan bisa memperoleh cahaya sebagai ganti dari kegelapan. (Lihat Adhwaul Bayan, 3/54)

Selanjutnya komentar dan penjelasan mengenai permusuhan Yahudi dan kaum muslimin di Palestina, kami sampaikan dalam beberapa point berikut ini:

Pertama: marilah seluruh kaum muslimin kembali kepada agama mereka, menyerahkan setiap urusan kepada Allah, menghilangkan perselisihan dan mendo’akan mereka kaum muslimin, juga menolong mereka sesuai dengan kemampuan dengan harta dan obat-obatan. Inilah ajakan yang lebih tepat yang ada dalam Al Qur’an dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sebab-sebab tadi disebabkan oleh maksiat.

Kedua: ajakan yang serampangan yang diarahkan pada kepentingan-kepentingan Yahudi di dunia ini tidak ragu lagi adalah ajakan yang tidak bertanggung jawab yang muncul dari orang-orang yang tidak memiliki hikmah dan tidak tahu aturan. Bahkan terkadang perbuatan semacam ini berakibat buruk kepada kaum muslimin khususnya di Saudi Arabia. Akhirnya berbaliklah tuduhan yang tidak menyenangkan dari negara adikuasa dengan tuduhan teroris yang negeri Saudi sendiri telah terselamatkan dari tuduhan semacam ini selama beberapa tahun yang silam. Seruan-seruan tadi tidaklah jauh dari seruan-seruan yang ingin memecah belah Ahlus Sunnah dan menginginkan Ahlus Sunnah seperti saat ini. Seruan taktik semacam ini sebenarnya karena tidak paham dengan tujuan-tujuan syari’at dan kaedah syariat yang umum.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Orang yang pemberani bukanlah dengan kuatnya badan. Boleh jadi seseorang kuat badannya, namun hatinya lemah. Orang yang pemberani adalah yang kuat dan kokoh hatinya. Kekuatan dalam peperangan adalah dengan kuatnya badan dan kemampuan untuk berperang, juga kuatnya, disertai pula dengan pengalaman. Yang terpuji di antara orang yang kuat hatinya dan yang kuat badannya tadi adalah orang yang berada di atas ilmu, bukan orang yang sering serampangan yang tidak mau berpikir manakah perkara yang terpuji dan tercela. Oleh karena itu, orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya ketika marah. Orang seperti ini akan melakukan perkara yang baik baginya bukan yang membahayakannya. Orang yang tidak mampu menahan amarahnya bukanlah orang yang pemberani dan bukanlah orang yang kuat.” (Al Istiqomah, 2/271)

Ketiga: ajakan yang diserukan kepada pemerintah Saudi untuk mengeluarkan Yahudi dari Palestina adalah ajakan yang terburu-buru dan jauh dari memahami kenyataan kaum muslimin dalam agama maupun strategi, juga karena tidak mengetahui kedudukan orang yang dihadapi yang begitu kuat.

Akhirnya, saya mengajak kepada saudaraku para da’i dan juga para penuntut ilmu, marilah kita tertarik untuk mengkaji Al Kitab dan As Sunnah serta melihat jalan hidup salafush sholeh. Dan ketahuilah bahwa di alam ini, Allah memiliki ketetapan (sunnah) yang tidak mungkin berubah dan tergantikan sebagaimana yang terjadi pada ketetapan kauniyah (sunnah kauniyah),

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar Ra’du: 11). Hendaklah kita mengambil pelajaran dari kajian-kajian yang telah lewat, lalu pahamilah.

Perlu diketahui pula bahwa syari’at ini datang untuk mendatangkan berbagai macam maslahat dan menolak berbagai macam bahaya atau menguranginya sesuai dengan kemampuan. Saya akan menjelaskan pula pada kalian mengenai kaedah syariat ini, bagaimana jika ada maslahat yang bertentangan, atau ada mafsadat yang saling bertentangan atau bagaimana jika ada maslahat dan mafsadat saling bertentangan.

Ketahuilah bahwa kebaikan dan keburukan itu bertingkat-tingkat. Orang yang berakal pasti akan menolak kejelekan yang lebih besar dengan kejelekan yang lebih sedikit dan akan merasa puas jika mendapatkan kebaikan yang sedikit dan tidak mendapatkan kebaikan yang banyak. Kalau tidak memperhatikan hal ini pasti kita akan menderita peperangan yang lebih besar.

Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin, menyatukan hati-hati mereka di atas petunjuk, tauhid dan sunnah. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari tipu daya dan kejelekan orang kafir dan munafik sebagai musuh-musuh mereka. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya.

***

Itulah fatwa dari Syaikh Abdullah Al Ubailan. Inti dari penjelasan beliau adalah:

Kaum muslimin –termasuk yang berada di Palestina- bisa menang dalam peperangan, jika mereka memiliki keimanan yang kokoh. Sebab lemahnya kaum muslimin saat ini adalah karena imannya yang lemah dan lebih senang berbuat maksiat dan mendurhakai Allah. Lihatlah di Perang Uhud, karena kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya, kaum muslimin menjadi kalah.

Seorang alim mengatakan:
“Siapakah yang mengatakan bahwa batu bisa menghancurkan tank-tank? Siapa yang mengatakan bahwa ketapel bisa mengalahkan rudal, sedangkan Engkau dan musuhmu sama-sama berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala?”

Alim tersebut menceritakan bahwa ada seseorang mengunjungi para korban perang yang terluka. Orang tadi mengataka bahwa dari 32 orang yang dia temui, 30 orang di antara mereka tidak shalat. Orang yang terluka tersebut mengatakan: Siapa saja yang ikut revolusi maka dia pasti syahid. Biarpun orang tersebut berbuat syirik, berzina dan sering mabuk-mabukan, asalkan dia ikut revolusi, pasti dia mati syahid.

Palestina tidak akan menang hanya dengan angan-angan. Palestina tidak akan bebas hanya dengan slogan-slogan. Modal utama untuk meraih kemenangan tersebut adalah dengan iman dan bukan dengan bermaksiat pada Allah.

Marilah saat ini kita benahi keimanan, memperbaiki aqidah kita dan marilah kita bersatu di atas aqidah yang benar sehingga hati dan badan kita pun benar-benar bersatu.

Semoga dengan petunjuk Allah, kita dapat dikembalikan kepada agama kita dengan baik dan semoga berbagai kehinaan diangkat dari kita. Semoga Allah menolong kaum muslimin di berbagai negeri atas musuh-musuhnya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.

Pangukan, Sleman, 11 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.

***

Modal Utama Meraih Kemenangan di Palestina (1)

Syaikh ‘Abdullah Al ‘Ubailan ditanya:

Apa tanggapan Anda terhadap peperangan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, lalu apa fatwa dan penjelasan mengenai hal ini?

Syaikh hafizhohullah menjawab:

Bismillahir rahmanir rohim

Segala puji hanyalah milik Allah, kami memuji-Nya, kami meminta pertolongan pada-Nya, kami memohon ampunan dari-Nya dan kami pun bertaubat kepada-Nya. Kami meminta perlindungan kepada Allah dari kejelekan diri kami dan kejelekan amal kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya. Barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberi petunjuk padanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Amma ba’du, sesungguhnya perkataan yang paling jujur adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama). Setiap perkara yang diada-adakan dalam agama itulah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.

Sebelum menjelaskan perkataan ulama mengenai hal ini, saya terlebih dahulu menyebutkan perkataan para ulama Ahlus Sunnah di zaman ini. Di antara ulama-ulama tersebut adalah: Yang mulia Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz, pakar hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, pakar fikih abad ini Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, peneliti handal Syaikh Sholeh bin Fauzan Al Fauzan, yang mulia Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alusy Syaikh, dan di antaranya lagi adalah Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, juga ulama-ulama lainnya yang mengikuti jalan hidup mereka dengan meniti syariat ini. Para ulama inilah yang senantiasa menolong kaum muslimin saat ini bahkan di setiap masa. Setelah itu, aku katakan –dengan taufik Allah-:

Perlu diketahui bahwa Al Qur’an telah memberi petunjuk kepada kita untuk menyelesaikan tiga problema, di mana dengan penjelasan Al Qur’an akan menyelematkan berbagai negeri Islam.

Problema Pertama:

Kelemahan kaum muslimin di setiap penjuru dunia dari sisi jumlah dibanding orang kafir. Sungguh, Al Qur’an telah memberi petunjuk pada kita untuk menyelesaikan problema ini dengan solusi yang paling bagus dan adil. Al Qur’an telah menjelaskan bahwa untuk menyembuhkan penyakit lemahnya kaum muslimin dari orang kafir adalah dengan penuh kesungguhan menghadap Allah, dengan menguatkan keimanan, dan bertawakkal pada-Nya karena Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa, dan Yang Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Siapa saja yang beriman dengan sebenar-benarnya, maka tidaklah mungkin orang-orang kafir mengalahkannya walaupun mereka (orang kafir) menang dalam hal kekuatan dari kaum muslimin.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

Di perang Ahzab, orang-orang kafir memerangi kaum muslimin dan pada saat itu kaum muslimin sudah dalam keadaan terkepung dengan pasukan orang kafir yang sangat besar, sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا (10) هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالًا شَدِيدًا (11)

“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam sangkaan. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (QS. Al Ahzab: 10-11)

Lihatlah kondisi perang ketika itu. Kaum muslimin sudah dikepung oleh pasukan orang kafir yang sangat banyak dan begitu kuat. Seluruh manusia saat ini pasti sudah kehilangan strategi. Jadi yang patut engkau tahu bahwa solusi ketika menghadapi problema yang sulit semacam ini telah Allah Ta’ala jelaskan dalam surat Al Ahzab pada firman-Nya,

وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا

“Dan tatkala orang-orang mu’min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.’ Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab: 22)

Jadi, dengan keimanan yang sempurna dan ketundukan yang sebenar-benarnya kepada Allah Ta’ala, juga kuat dalam tawakkal, itulah sebab untuk menyelesaikan problema yang sulit ini.

Allah sendiri telah menegaskan mengenai hasil dari penyembuhan seperti ini (yaitu karena adanya keimanan yang kokoh, pen) dalam firman-Nya,

وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا خَيْرًا وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا (25) وَأَنْزَلَ الَّذِينَ ظَاهَرُوهُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ صَيَاصِيهِمْ وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ فَرِيقًا تَقْتُلُونَ وَتَأْسِرُونَ فَرِيقًا (26) وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَارَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ وَأَرْضًا لَمْ تَطَئُوهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرًا (27)

“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mu’min dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memesukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan. Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 25-27)

Begitulah pertolongan Allah terhadap musuh-musuh kaum muslimin. Mereka tidak menyangka bahwa yang menolong mereka adalah (para tentara dari) malaikat dan juga ditolong melalui angin (topan). Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا وَجُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ahzab: 9)

Begitu pula Allah Ta’ala mengetahui keikhlasan yang sempurna dari orang-orang yang melakukan Bai’atur Ridwan, sebagaimana dalam firman-Nya,

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon , maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka.” (QS. Al Fath: 18). Yang dimaksudkan dengan ‘apa yang dalam hati mereka’ adalah keimanan dan keikhlasan. Karena keimanan dan keikhlasan inilah menghasilkan buah sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,

وَأُخْرَى لَمْ تَقْدِرُوا عَلَيْهَا قَدْ أَحَاطَ اللَّهُ بِهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرًا

“Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Fath: 21). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menegaskan bahwa kaum muslimin belum dapat menaklukan negeri-negeri lainnya, namun Allah-lah yang menetapkan sehingga mereka pun mampu menguasai negeri-negeri tersebut. Itulah buah dari kuatnya iman dan ikhlas.

Ayat tadi menjelaskan bahwa ikhlas yang murni kepada Allah dan kuatnya keimanan adalah sebab kaum yang lemah bisa mengalahkan kaum yang jauh lebih kuat. Itulah yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,

كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 249)

Problema Kedua:

Mengapa orang kafir bisa mengalahkan orang-orang beriman dengan membunuh, melukai dan bentuk kerugian lainnya, padahal kaum muslimin berada di atas agama yang benar sedangkan mereka orang kafir berada dalam kebatilan?

Problema seperti ini juga pernah dialami oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala sendiri menjelaskan problema ini melalui wahyu dari langit yang senantiasa dibaca dalam Kitabullah (Al Qur’an).

Kejadian yang dialami sahabat adalah ketika berada di perang Uhud. Pada saat itu, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, begitu pula anak dari pamannya. Ketika itu pula beberapa kaum muhajirin terbunuh dan 70 kaum Anshor pun terbunuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terluka, bibirnya sobek dan giginya (yaitu gigi yang terletak antara gigi seri dan gigi taring) patah, dan dahinya pun terluka.

Para sahabat ketika itu merasa heran dengan kejadian ketika itu. Mereka berujar, “Bagaimana mungkin kaum musyrikin sekarang bisa mengalahkan kita, padahal kita berada di atas kebenaran sedangkan mereka berada dalam kebatilan?” Kemudian Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah: Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165)

Lihatlah bahwa Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ

“Katakanlah: Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165)

Ayat di atas masih global dan kesalahan mereka ini dijelaskan lagi dalam firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الْآَخِرَةَ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ

“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu.” (QS. Ali Imran: 152)

Inilah keterangan langsung dari langit, penjelasan yang sangat jelas bahwa sebab kemenangan orang kafir terhadap kaum muslimin adalah karena kelemahan kaum muslimin sendiri, perselisihan mereka dalam suatu urusan dan kedurhakaan mereka terhadap perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan di antara mereka ada yang lebih mementingkan dunia daripada perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sudah tidak samar lagi bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya.

-bersambung insya Allah-

***

Pelajaran dari Palestina

Pelajaran dari Palestina

Dengan menyebut nama Allah yang Maha pemurah lagi Maha penyayang

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Amma Ba’du

Sesungguhnya kejadian yang menimpa saudara-saudara kita sesama muslim di Gaza berupa pembunuhan, penghancuran, serta penjajahan atas mereka yang dilakukan oleh kaum Yahudi terlaknat, tentu dirasakan pedih dan sakit oleh setiap mukmin dan membuat hati mereka teriris.

Ya Allah, alangkah murah dan sepele darah kaum muslimin [di mata mereka].

Maha suci Allah, betapa menyakitkan gambaran mayat-mayat [orang-orang tak bersalah itu] di dalam hati orang-orang yang beriman. Alangkah banyak nyawa yang telah melayang, darah yang tertumpahkan, kaum wanita yang ternodai [kehormatannya], dan begitu banyak rumah-rumah yang dihancurkan.

Sesungguhnya kejahatan-kejahatan Yahudi di negeri Palestina yang terampas itu bukan perkara yang aneh dilakukan oleh orang-orang semacam mereka (baca: Yahudi). Lebih parah daripada itu, mereka adalah kaum yang berani mencela dan mengejek al-Bari (Allah) Yang Maha suci. Sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya (yang artinya), “Orang-orang Yahudi berkata; ‘Tangan Allah terbelenggu’. Justru tangan-tangan mereka itulah yang terbelenggu dan mereka dilaknat akibat ucapan yang mereka lontarkan. Bahkan, kedua tangan Allah itu terbentang, Dia akan memberi bagaimanapun yang dia suka.” (QS. al-Maa’idah [5]: 64)

Mereka adalah para pembunuh nabi-nabi Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hal itu terjadi karena mereka senantiasa mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu terjadi akibat kedurhakaan mereka dan karena mereka selalu saja melampaui batas.” (QS. al-Baqarah [2]: 61)

Mereka adalah saudara kera-kera dan babi-babi yang berusaha untuk mengelabui Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tanyakanlah kepada Bani Israel tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (QS. al-A’raaf [7]: 163)

Selaras dengan ikatan persaudaraan di atas keimanan, maka sudah semestinya setiap muslim memberikan bantuan sekuat kemampuannya dan memohon dengan sangat kepada Allah dengan doa yang diiringi rasa penuh harap kepada-Nya agar Allah berkenan segera menyingkirkan kesulitan dan musibah yang mencekam saudara-saudara kita [di sana]. Berkaitan dengan kejadian yang begitu memilukan ini, saya ingin mengingatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin dengan beberapa pelajaran manhaj dari kejadian yang menimpa daerah Gaza Palestina:

Pelajaran Pertama

Sesungguhnya kejadian yang menyedihkan ini semakin menguatkan kebenaran berita yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala mengenai orang-orang kafir berupa permusuhan mereka yang sengit kepada kaum mukminin. Dan yang harus kita lakukan adalah memusuhi seluruh golongan orang kafir dari kalangan Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lainnya, dikarenakan mereka adalah orang-orang kafir. Dan apabila mereka menyakiti dan memerangi kita, maka kebencian kita kepada mereka pun semakin memuncak. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dilontarkan oleh sebagian orang yang menganjurkan untuk tidak memberikan pertolongan yang mengatakan, “Sesungguhnya kita tidak akan memusuhi orang-orang kafir kecuali apabila mereka menyakiti dan memerangi kita.” Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah merasa puas/ridha kepada kalian sampai kalian mau mengikuti millah (ajaran agama) mereka.” (QS. al-Baqarah [2]: 120).

Ayat ini menunjukkan bahwa permusuhan mereka kepada kita akan terus berlangsung sampai kita ikut menjadi kafir seperti mereka. Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya) “Sungguh telah terdapat suri teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak dengan jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah semata.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 4). Maka kita pun harus memusuhi dan membenci mereka untuk selama-lamanya dikarenakan mereka kafir, sampai mereka mau meninggalkan kekafiran mereka dan beriman kepada Allah semata. Jadi, permusuhan [kita] tidak hanya terbatas kepada orang yang memerangi kita di antara mereka, sebagaimana yang diserukan oleh sebagian da’i yang bersikap lembek [silakan dengar kajian berjudul 'Surat-surat kepada gerakan HAMAS' http://www.islamancient.com/lectures,item,346.html, yang disampaikan oleh Syaikh untuk menasihati mereka, pent]

Allah ta’ala menegaskan kewajiban permusuhan kita kepada mereka karena mereka adalah orang-orang kafir. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak akan kamu temukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir justru berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya, meskipun orang-orang itu adalah ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau kerabat mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah ditetapkan Allah keimanan di dalam hati mereka.” (QS. al-Mujadilah [58]: 22)

Di antara konsekuensi hal itu adalah kita tidak boleh menyerupai ciri khas mereka, baik dalam hal pakaian atau yang lainnya. Dan ini sekaligus merupakan ajakan kepada para pemuda kita, agar mereka meninggalkan pakaian-pakaian olah raga yang padanya terdapat nama-nama pemain (olah raga) yang kafir itu. Bahkan ini juga ajakan kepada segenap kaum muslimin untuk merasa mulia dan bangga dengan keislaman mereka. Agar kaum muslimin memandang kepada orang-orang kafir dengan pandangan permusuhan dan kerendahan, maka tidak benar perkataan bahwa orang kafir itu juga saudara kita sebagaimana yang dilontarkan oleh sebagian da’i yang lembek. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya, mereka bersikap keras kepada orang-orang kafir, dan berkasih sayang dengan sesama mereka.” (QS. al-Fath [48]: 29). Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum, Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, berlemah lembut dengan orang-orang mukmin dan keras kepada orang-orang kafir.” (QS. al-Maa’idah [5]: 54)

Salah satu perkara yang sangat-sangat mengherankan yaitu anda dapat melihat sebagian orang yang dinisbatkan (disandarkan) kepada kalangan para da’i ila Allah -namun itu adalah penisbatan yang dusta- mereka itu tidak mau mengafirkan Yahudi dan Nasrani. Maka sungguh dia telah mendustakan al-Qur’an yang jelas-jelas telah mengafirkan mereka, maka orang seperti itu kafir berdasarkan ijma’ ulama sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah. Sebagai tambahan, guru kami Ibnu Baz menyebutkan bahwa tidak benar menamai orang-orang Nasrani dengan istilah Masihiyyin (pengikut Isa).

Pelajaran Kedua

Sesungguhnya tindakan melampaui batas yang berlangsung secara beruntun dan terus-menerus serta penghinaan atas nyawa kaum muslimin yang suci, [dirampasnya] harta dan kehormatan mereka yang bersih termasuk bencana dan musibah besar yang menimpa kita. Sungguh banyak kalangan aktivis di medan dakwah yang telah keliru dalam mendiagnosa penyakit ini. Dibangun di atasnya, mereka pun keliru dalam menempuh jalan penyembuhannya. Saya telah menerangkan hal itu di dalam mukadimah kitab saya ‘Muhimmat fi al-Jihad’ [http://www.islamancient.com/books,item,50.html].

Intisari dari penyakit ini adalah kemaksiatan kepada Allah. Dan yang paling besar di antaranya adalah meninggalkan tauhid dan sunnah serta tersebarnya syirik dan bid’ah di antara barisan kaum muslimin yang dinamakan dengan istilah tasawuf dan lainnnya. Dan keadaan ini semakin bertambah parah ketika muncul berbagai kelompok dakwah yang menelantarkan dakwah tauhid dan melalaikan peringatan agar menjauhi kesyirikan serta mengikis aqidah al-Bara’ (kebencian kepada musuh Islam) yang seharusnya tertuju kepada bid’ah dan para penyebarnya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah: ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri’. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]: 165). Allah juga berfirman (yang artinya), “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan dikarenakan ulah tangan manusia, Allah ingin memberikan pelajaran dengan menimpakan sebagian akibat perbuatan mereka, semoga mereka mau kembali(ke jalan yang benar).” (QS. ar-Ruum [30]: 41). Maka kedua ayat tersebut dan ayat-ayat yang lainnya secara tegas menjelaskan bahwa semua musibah -di antaranya adalah berupa kelemahan dan dikuasai oleh orang-orang kafir- adalah akibat dari dosa-dosa yang kita perbuat.

Untuk mengatasi hal itu, maka obat dan penyembuhnya adalah dengan kembali kepada Allah, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal salih, niscaya Allah akan menjadikan mereka benar-benar berkuasa di atas muka bumi ini, sebagaimana halnya Allah telah mengangkat orang-orang sebelum mereka menjadi pemimpin, Allah benar-benar akan meneguhkan untuk mereka agama mereka yang telah Allah ridhai bagi mereka, dan Allah akan menggantikan rasa takut yang mencekam mereka dengan keamanan; mereka senantiasa beribadah kepada-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku sama sekali.” (QS. an-Nuur [24]: 55). Ini adalah janji dari Allah, sedangkan Allah tidak mungkin menyelisihi janji-Nya. “Itulah janji Allah, Allah tidak akan pernah menyelisihi janji-Nya. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. ar-Ruum [30]: 6)

Termasuk kekeliruan yang sangat fatal dan dosa yang sangat buruk yaitu [usaha sebagian orang] untuk memberikan posisi bagi Syi’ah Rafidhah untuk berada di antara barisan Ahlus Sunnah; sehingga mereka dapat dengan leluasa menyebarkan ajaran kekafiran dan kesesatan mereka, dan pada akhirnya mereka pun membahayakan Ahlus Sunnah. Sungguh mengherankan! Bagaimana bisa dibenarkan bagi seorang da’i yang mengajak untuk ishlah (perbaikan) kok malah memberikan tempat bagi Rafidhah yang mengafirkan umat terbaik setelah Nabi-Nya yaitu para sahabat yang mulia seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka jugalah orang-orang yang berani menuduh ibunda kaum mukminin -sosok yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri beliau- telah melakukan perzinaan, mereka (baca: Syi’ah) juga melampaui batas dalam mengangkat kedudukan para imam mereka sampai menduduki derajat sebagaimana halnya derajat Allah, sebagaimana sudah saya terangkan dalam bantahan untuk mereka dalam risalah al-Qaul al-Mubin li maa ‘alaihi ar-Rafidhah min ad-Din al-Masyin [http://www.islamancient.com/books,item,70.html].

Dahulu saya telah memberikan nasihat kepada organisasi HAMAS beserta pimpinan mereka -semoga Allah memberikan petunjuk kepada kami dan mereka- dan saya peringatkan mereka mengenai dampak [buruk] yang akan muncul akibat memberikan posisi bagi orang-orang Rafidhah di Palestina dan akibat buruk dari menyanjung mereka, sebagaimana telah kami sampaikan dalam sebuah pelajaran yang telah didokumentasikan dan disebarkan dengan judul ‘Rasa’il ila Hamas’, di antara tindakan mereka yang keliru itu adalah kunjungan Khalid Masy’al ke Iran dan meletakkan karangan bunga di atas kubur orang yang binasa yaitu al-Khumaini, dan pernyataannya bahwa Khumaini adalah bapak ruhani yang menjiwai dakwah mereka (HAMAS) di Palestina[?!].

Pelajaran Ketiga

Wajib bagi kaum muslimin untuk menyadari ukuran diri dan kekuatan mereka. Hendaknya mereka bisa membedakan antara kondisi lemah dan kondisi kuat, dan sudah seharusnya mereka pun mengetahui hukum-hukum yang menjadi konsekuensi atasnya. Hendaknya mereka menjadi orang yang bertindak realistis, bukan menjadi tukang khayal yang gemar berandai-andai. Maka tidak dibenarkan bagi siapapun mengharuskan kaum muslimin mengikuti keputusan-keputusan yang tidak cocok dengan kondisi mereka [sekarang ini] dan kelemahan mereka; yang itu semua dibangun di atas impian persatuan dan kesatupaduan mereka [yang belum terwujud]. Akan tetapi, yang harus dilakukan adalah hendaknya kaum muslimin bertindak sesuai dengan kondisi mereka saat ini, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih perdamaian ataupun peperangan dengan mempertimbangkan kemaslahatan, yaitu mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang ada serta faktor-faktor lainnya. Tatkala beliau masih berada di Mekah, Allah belum mensyariatkan kepadanya jihad. Karena pada saat itu beliau sedang dalam kondisi yang lemah, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para pemimpin Islam, di antaranya Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Anda bisa menemukan keterangan mereka dengan jelas di dalam buku saya ‘Muhimmat fi al-Jihad’ dan dalam pelajaran yang berjudul ‘al-Jihad baina al-ghuluw wa al-Jafaa’ [http://www.islamancient.com/lectures,item,550.html]

Betapa sering seorang muslim harus merasakan sakit akibat melayangnya nyawa kaum muslimin yang lain disebabkan kobaran semangat yang tak terkendali oleh ilmu sehingga menimbulkan kezaliman orang-orang kafir kepada kaum muslimin yang lemah justru menjadi berlipat ganda, maka jadilah mereka sebagai korban sembelihan orang-orang kafir yang sangat gemar menganiaya, dan mereka [orang kafir] itu adalah orang-orang Yahudi. Dan jadilah kaum muslimin sebagai korban akibat tindakan yang salah dari sebagian kaum muslimin, dan mereka itu adalah para pemimpin HAMAS. Saya tidak mengerti sama sekali apa yang mendorong organisasi HAMAS untuk melakukan tindakan-tindakan perlawanan secara terang-terangan kepada orang-orang Yahudi kafir terlaknat itu, padahal mereka juga mengetahui bahwa kekuatan mereka sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatan orang-orang Yahudi. Bahkan, tindakan mereka itu justru -pada ujungnya- mengakibatkan semakin kerasnya penyiksaan kaum Yahudi kepada orang-orang yang lemah di antara kaum muslimin di Gaza. Sementara para pemimpin HAMAS bisa saja selamat karena mereka bisa membuat perlindungan di sekelilingnya untuk menyelamatkan diri. Kemudian, yang lebih aneh lagi adalah tindakan HAMAS yang tetap bersikeras meneruskan perang, sampai-sampai orang yang melihat mengira bahwa mereka memiliki kekuatan dan kemampuan yang memadai untuk menghancurkan Yahudi. Maka hal itu tidak lain justru semakin menambah sakit dan luka [pada diri kaum muslimin] akibat terjadinya berbagai pembantaian berdarah yang sangat keji [yang dilakukan oleh Yahudi, pent].

Salah satu contoh tindakan yang membuat orang tertawa sekaligus menangis adalah pernyataan HAMAS yang mendalili perbuatan mereka itu -serangan kepada Yahudi secara terang-terangan- dengan alasan terpaksa karena mereka berada sedang dalam kondisi terkepung. Sehingga hal itu mendorong mereka untuk memilih meninggalkan bahaya yang timbul akibat kepungan musuh menuju suatu bahaya yang lebih berat dan lebih mengerikan, yaitu menggabungkan antara [bahaya] pengepungan dan terjadinya pembantaian berdarah. Memang benar, menetapnya Yahudi di bumi Palestina adalah kejahatan dan kezaliman yang tidak boleh diakui sama sekali. Mereka pun harus diusir dan dibuat angkat tangan [menyerah] agar tidak lagi menjajah al-Quds. Akan tetapi, kekeliruan ini tidak boleh disembuhkan dengan kekeliruan lain yang lebih fatal yaitu dengan menyebabkan tertumpahnya darah orang-orang yang tidak bersalah dalam jumlah yang sangat banyak.

Saya benar-benar mengajak kepada para pemimpin organisasi HAMAS untuk selalu bertakwa dan takut kepada Allah dan mengambil pelajaran dari para pendahulu mereka yaitu al-Ikhwan al-Muslimun (IM). Betapa banyak kerugian yang timbul akibat letupan semangat dan tindakan-tindakan membahayakan yang mereka perbuat sehingga menyebabkan melayangnya banyak nyawa sebagaimana yang dahulu mereka lakukan di daerah Hamat. Kejadian yang menimpa mereka ketika itu belum jauh berlalu dari ingatan kita. Hendaknya mereka takut kepada Allah demi terjaganya keselamatan kaum muslimin yang lemah di Gaza yang terdiri dari orang-orang tua yang sudah jompo, anak-anak yang masih menyusu. Lihatlah, sekarang darah itu sudah tertumpah, para wanita telah ternodai kehormatannya, demikian pula anak-anak telah menjadi yatim. Apa yang bisa kalian lakukan selain mengeluh dan mengadu. Lihatlah, apa yang bisa kalian harapkan dari Iran yang Syi’ah itu yang katanya siap memberikan bantuan kepada kalian kecuali sekedar melemparkan urusan [tanggung jawab] mereka kepada pihak lain dan menebarkan keragu-raguan kepada negara-negara Islam Sunni yang lainnya. Apa yang telah diperbuat oleh kaum Rafidhah (Syi’ah) di Irak berupa pembunuhan terhadap kaum Ahlus Sunnah dan menyerahkan urusan mereka kepada negara kafir Amerika merupakan bukti paling besar yang menunjukkan kekejian mereka, dan tidak mungkin kita berharap bantuan dari mereka untuk melawan kaum Yahudi dan Nasrani.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam bukunya ‘Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah’ [3/377] berkata, “Banyak di antara mereka -Rafidhah/Syi’ah- justru menaruh rasa kasih sayang kepada orang-orang kafir dari dalam lubuk hatinya lebih daripada kecintaan mereka kepada kaum muslimin. Oleh sebab itulah ketika pasukan Turki keluar sedangkan orang-orang kafir datang dari arah timur kemudian membunuhi kaum muslimin dan menumpahkan darah mereka di negeri Khurasan, Irak, Syam, jazirah Arab, dan negeri yang lainnya, maka kaum Rafidhah justru memberikan bantuan kepada mereka (orang kafir) untuk membunuh kaum muslimin. Dan menteri Baghdad saat itu yang sudah ma’ruf (dikenal) yaitu Alqami dan orang-orang yang sepertinya, mereka itulah orang-orang yang paling besar perannya dalam memberikan bantuan kepada mereka untuk menghancurkan kaum muslimin. Demikian pula orang-orang Rafidhah yang dahulu tinggal di Syam, mereka itu adalah orang-orang yang paling besar perannya dalam membantu orang kafir untuk memerangi kaum muslimin. Begitu pula orang-orang Nasrani yang dahulu diperangi oleh kaum muslimin di Syam, ternyata kaum Rafidhah pun termasuk pembantu mereka yang sangat berjasa. Demikian pula tatkala Yahudi berhasil memiliki pemerintahan di Irak dan negeri yang lainnya, maka jadilah kaum Rafidhah sebagai pembantu mereka yang paling besar perannya. Mereka itu selalu memberikan loyalitasnya kepada orang-orang kafir dari kalangan orang-orang musyrik maupun Yahudi dan Nasrani. Mereka membantu orang-orang kafir itu dalam rangka memerangi kaum muslimin dan memusuhi mereka…” Selesai ucapan beliau.

Sekarang kalian, wahai HAMAS. Kalian telah membuka jalan untuk kaum Rafidhah guna merusak keyakinan-keyakinan Ahlus Sunnah dan mengubahnya menjadi [aqidah] Syi’ah. Dan sebaliknya, kalian justru melarang para da’i salafi [ikut serta memperbaiki kekeliruan kalian, pent]. Bahkan, sudah terbukti kalian berani melakukan pembunuhan kepada sebagian di antara mereka (da’i salafi) dengan mengatasnamakan kemaslahatan yang diada-adakan. Barangsiapa yang ingin mendapatkan tambahan bukti dan keterangan yang lebih lengkap silakan merujuk kepada pelajaran ‘Rasa’il ila Harakati Hamas’ [masih dalam bentuk ceramah audio, belum di transkrip, pent]. Saya memohon kepada Allah agar Dia mematikan kita sebagai syuhada’ di jalan-Nya dan menyejukkan hati kita dengan hancurnya Yahudi. Saya pun memohon kepada-Nya dengan segenap kekuatan yang dimiliki-Nya demi terjaganya darah saudara-saudara kami kaum muslimin di Gaza dan di semua tempat, dan semoga Allah memberikan hidayah kepada para pemimpin HAMAS untuk meniti jalan yang lurus.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imron Ayat 130: Riba Jahiliah

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Qs. Ali Imron [3]: 130)

Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah maka alloh menurunkan firman-Nya… (ayat di atas).” (al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat ini dan beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba dalam bank itu buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang yang tidak punya kasih sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.

Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.

Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.

Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.

Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,

دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً

“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]

Dalam hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.

Ayat ini berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Sebabnya menurut penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah satu-satunya dosa yang mendapatkan maklumat perang dari Allah sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]: 289. Sedangkan perang itu identik dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan kalah perang dan kalian akan terbunuh. Oleh karena itu Allah perintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu (lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)

Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.

Al Falah/keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang diinginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.

Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba.

Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang.

Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنْ عَمْرَو بْنَ أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ حَتَّى يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمُ أُحُدٍ فَقَالَ أَيْنَ بَنُو عَمِّي قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ أَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ فَأَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ فَلَبِسَ لَأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا إِلَيْكَ عَنَّا يَا عَمْرُو قَالَ إِنِّي قَدْ آمَنْتُ فَقَاتَلَ حَتَّى جُرِحَ فَحُمِلَ إِلَى أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ لِأُخْتِهِ سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ صَلَاةً

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.” Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).

Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”

Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460)

Catatan Penting: Hadits di atas tidaklah tepat jika dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak kafir karena sahabat tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam karena kematian merenggutnya terlebih dahulu.

Pada ayat selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.

Ada juga pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan harta riba dan khianat terhadap amanat.

Abu Bakar al Warraq mengatakan, “Kami renungkan dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka tidak kami dapatkan dosa yang lebih cepat mencabut iman dibandingkan dosa menzalimi sesama.”

Ayat di atas juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saat ini neraka sudah tercipta karena sesuatu yang belum ada tentu tidak bisa dikatakan ’sudah disiapkan’. (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)

***

Penulis: muslimmodern@gmail.com

Rabu, 24 Juni 2009

Muslimah: Puteri Islam Yang Sejati

Wanita ibarat bunga... cantik indahnya pada pandangan mata hanya sementara... Yang kekal menjadi pujaan manusia, hanyalah wanita yang mulia akhlaknya... kerana akhlaq itu umpama bunga diri.. Tiada guna berwajah cantik tetapi akhlaqnya buruk.. tiada guna juga berwajah cantik tetapi hatinya kosong dari ilmu... Ibarat bunga.. ada yang cantik bila dipandang tetapi busuk baunya... Ada pula yang kurang menarik dan baunya juga kurang menyenangkan... Ada juga bunga yang tidak menarik pada pandangan mata kasar.. tetapi bila dihalusi dengan
mata hati, ternyata amat tinggi nilainya.... Wanita adalah makhluk Allah yang amat istimewa. Kemuliaan dan keruntuhan sesuatu bangsa terletak di tangan wanita. Oleh yang demikian, Allah telah menetapkan hukumnya ke atas mereka, walaupun berat di pandangan mata si jahil dan ingkar tetapi ia adalah kemanisan iman yang dicicipi oleh wanita solehah.

Kerana itulah... Sebagai anak, dia menjadi anak yang solehah... Sebagai remaja dia akan menjadi remaja yang berhemah.. sebagai isteri, dia menjadi isteri yang menyenangkan dan menenangkan hati suaminya.. sebagai ibu, dia akan mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang... dan pastinya sebagai hamba Allah, dia akan menjadi hamba yang tunduk dan menyerah diri hanya kepada-Nya...

Islam tidak membedakan kedudukan atau derajat seseorang baik mereka wanita atau lelaki melainkan berdasarkan ketaqwaan mereka kepada Allah... Firman Allah dalam surah an-Nisa', ayat 24 yang artinya...Barangsiapa yang mengerjakan amalan yang soleh baik lelaki maupun wanita sedang ia seorang yang beriman maka mereka itu masuk ke dalam syurga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.

Rasulullah saw pernah bersabda yang maksudnya : Harta yang paling berharga di dunia adalah wanita yang solehah. HR Muslim

Wanita Menurut Perspektif Islam

Dalam Islam wanita amat dihormati dan dihargai peranannya. Sebagaimana eratnya hubungan siang dan malam yang saling melengkapi, begitu juga lelaki dan wanita diciptakan untuk saling melengkapi. Setiap lelaki dan wanita memiliki tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban yang berlainan, sesuai dengan fitrah masing-masing. Namun, matlamat hidup setiap lelaki dan wanita adalah sama, yaitu mencari ridho Allah (Mardhotillah).

Allah telah berfirman, Barangsiapa yang mengerjakan amalan yang soleh baik lelaki maupun wanita sedang ia seorang yang beriman maka mereka itu masuk ke dalam syurga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. An-Nisaa : 124

Rasulullah juga turut menyuruh umatnya supaya memperlakukan wanita sebaik-baiknya sebagaimana sabda baginda yang maksudnya : Mereka yang paling sempurna dikalangan mereka yang ikhlas adalah mereka yang mempunyai akhlak yang terbaik dan yang terbaik dikalangan kamu adalah yang paling baik terhadap isterinya. HR At-Tirmidzi

Rasulullah saw telah memerintahkan supaya kaum wanita diperlakukan menurut fitrah ia dijadikan sebagaimana dalam sabdanya yang maksudnya.... Berlaku baiklah terhadap kaum wanita lantaran mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok adalah bahagian yang teratas, jika kamu coba untuk meluruskannya kamu akan mematahkannya dan jika kamu membiarkannya ia akan tetap bengkok, maka berlaku baiklah terhadap kaum wanita kamu. Al-Bukhary dan Muslim

Terdapat perbedaan diantara pembawaan lelaki dan wanita yang tidak boleh diabaikan. Wanita secara fisiknya lebih lemah dari kaum lelaki, oleh itu mereka tidak dapat melindungi diri mereka dengan kekuatan mereka sendiri. Fitrah telah mengaruniakan kepada wanita dua ciri yaitu keteguhan dan rasa malu yang merupakan dua senjata ampuh yang digunakan untuk memelihara diri mereka. Nilai sebenarnya, wanita dalam Islam amat bertentangan dengan apa yang diperjuangkan oleh wanita Barat. Nilai wanita bukan terletak pada pakaiannya yang menonjol, berhias diri untuk memperlihatkan kecantikannya, tetapi hakikatnya ialah pada kesopanan, rasa malu dan keterbatasan dalam pergaulan. Wanita menurut perspektif Islam adalah :

Wanita diciptakan sebagai penenteram dan penyenang hati. Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah, Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Ar Ruum : 21

Wanita sebagai sumber kasih, sayang dan kelembutan.

Dan dijadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Ar Ruum : 21

Wanita berperanan melahirkan zuriat dan memberi pendidikan. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis-jenis kamu sendiri dan menjadikan dari isteri-isteri itu, anak-anak dan cucu-cucu. An Nahl : 72

Wanita Tauladan.. Hayati kisah perjuangan mereka dalam mencari ridho Ilahi...

PRIBADI WANITA SOLEHAH

Solehah Wanita Sebagai Ibu

KEMULIAAN IBU DLM ISLAM

2 rakaat sholat wanita yg hamil lebih baik dari 80 rakaat sholat wanita yg tidak hamil.
Wanita yang hamil dapat pahala puasa disiang hari + pahala ibadat di malam hari.
Wanita yang bersalin dapat pahala 70 tahun sholat + puasa serta setiap kesakitan pada satu uratnya, Allah bagi satu pahala haji.

Sekiranya wanita meninggal dunia dalam masa 40 hari selepas bersalin ia disamakan sebagai mati syahid.

Wanita yg memberi minum susu badannya kpd anaknya akan dpt 1 pahala dari tiap titik susu yg diberikannya.
Wanita yg memberi minum susu badannya kpd anaknya yg menangis maka Allah beri
pahala satu thn pahala sholat + puasa.

Kalau wanita menyusui anaknya hingga cukup tempo 2.5 thn maka malaikat dilangit mengabarkan berita bahwa syurga wajib baginya.

Seorang ibu yg menghabiskan masa mlmnya dgn tidur yg tidak nyenyak kerana
menjaga anaknya yg sakit mendapat pahala seperti membebaskan 20 org hamba.

Wanita yg tidak cukup tidur pada malam hari karena menjaga anaknya yg sakit akan di ampunkan oleh Allah akan seluruh dosanya, bila dia menghibur hati anaknya Allah beri 12 tahun pahala ibadat.

Kelebihan Wanita

Allah Yang Maha Bijaksana telah menciptakan manusia dgn sebaik-baik kejadian.Dan Dia telah menjadikan hambanya itu berpasang-pasangan. Lelaki + wanita yg saling memerlukan. Sebagiannya menjadi pembantu kpd sebagian yg lain. Kemuliaan manusia hanyalah dlm agama sejauh mana mereka dpt mentaati perintah Allah dengan cara Nabi s.a.w. Allah telah mengaruniakan kepada wanita dengan berbagai kelebihan. Syarat untuk wanita masuk syurga
begitu mudah. Anas bin Malik meriwayatkan bahawa Nabi s.a.w bersabda :

Seorang wanita yg mengerjakan solat 5 waktu, berpuasa wajib sebulan,
memelihara kemaluannya serta taat kpd suaminya maka pasti dia akan masuk
syurga dari pintu mana saja yang dikehendakinya. (HR Abu Nuaim)

Ab.Rahman bin Auf meriwayatkan bahawa Nabi s.a.w bersabda :

Seorang wanita solehah lebih baik dari 1000 lelaki yg tak soleh. Dan
seorang wanita yg melayani suaminya selama seminggu maka ditutupkan baginya
7 pintu neraka, dibuka 8 pintu syurga yg mana dia dpt masuk dari pintu
mana saja tanpa hisab.

Siti Aisyah meriwayatkan bahawa Nabi s.a.w bersabda :

Tidaklah seorang wanita yg haidh kecuali haidhnya merupakan kifarah bagi
dosa2nya yg telah lalu. Dan pada hari pertama haidhnya membaca :
Alhamdulillahi 'ala kulli hal wa astaghfirullaha min kulli dzanbin, maka
Allah menetapkan baginya bebas dari neraka, dgn mudah melalui sirat (jalan), aman
dari siksa bahkan Allah mengangkat ke atasnya derajat 40 org syuhada apabila
dia selalu berzikir kpd Allah selama haidhnya.

WANITA YG MULIA DLM PANDANGAN ALLAH.

Abu Hurairah meriwayatkan bahawa Nabi s.a.w bersabda :
Sebaik-baik wanita adalah apabila engkau pandang dia maka dia menggembirakan, bila engkau perintah dia taat, bila engkau tiada, dia menjaga hartamu dan menjaga pula kehormatan dirinya.

Ada sebuah riwayat bahwa pada zaman Nabi s.a.w ada seorang lelaki yg akan berangkat utk berperang dijalan Allah. Dia berpesan kpd isterinya, Wahai isteriku ...janganlah sekali-kali engkau meninggalkan rumah ini sehingga aku kembali. Secara kebetulan ayahnya menderita sakit...maka wanita tadi mengutus seorang lelaki menemui Rasulullah s.a.w. Baginda bersabda kepada utusan itu, Agar dia taati suaminya. Demikian pula wanita itu mengutus utusannya bukan hanya sekali sehingga akhirnya dia mentaati suaminya tidak berani keluar rumahnya.
Maka ayahnya meninggal dunia tetapi dia tetap tidak melihat mayat ayahnya. Dia tetap sabar sehingga suaminya pulang. Maka Allah memberi wahyu kpd Nabi yg berbunyi, Sesungguhnya Allah telah mengampuni wanita tersebut disebabkan ketaatannya kepada suaminya. Dalam riwayat yang lain mengatakan bahawa Allah turut mengampuni dosa ayahnya disebabkan ketaatan anaknya itu.

Inilah sebenarnya perkara yg menyebabkan wanita diridhoi oleh Allah bukannya dalam persamaan hak yg seperti dituntut oleh penjahil agama.

Sedangkan dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi telah melihat ke dalam syurga
yang mana Allah masukan wanita ke dalam syurga 500 tahun lebih awal dari
suami mereka...dan bila melihat ke dalam neraka Nabi dapati 2/3 dari
penghuninya adalah wanita.Oleh itu takutilah kita semua akan ALLAH....

KELEBIHAN WANITA

Abdullah bin Masud meriwayatkan bahawa Nabi s.a.w bersabda :
• Apabila seorang wanita mencuci pakaian suaminya maka Allah mencatat baginya 1000 kebaikan, di ampunkan 2000 kesalahan bahkan segala sesuatu yg disinari matahari akan memohon ampun baginya, Allah mengangkat 1000 derajat utknya.
• Maulana Syed Ahmad Khan dlm bayannya menceritakan kelebihan yang dimiliki
oleh wanita. Katanya: Seorang wanita yg solehah lebih baik dari seorang waliAllah.
• Wanita yg menguli tepung dgn membaca Bismillah akan diberkati Allah rezekinya.
• Wanita yg menyapu lantai dgn berzikir dpt pahala spt membersihkan Baitullah.
• Wanita yg solehah lebih baik dari 70 org lelaki yang soleh.
• Allah akan berkati rezeki apabila wanita memasak dengan zikir.
• Seorang wanita yang menutup auratnya dengan purdah ditingkatkan oleh Allah
nur wajahnya 13 kali dari wajah asal.

Semua org akan dipanggil utk melihat wajah Allah yang Maha Indah di akhirat nanti tetapi bagi Allah sendiri akan datang untuk berjumpa dengan wanita yang memberati auratnya yaitu yang memakai purdah dgn istiqamah.

Pengorbanan seorang wanita amat dihargai oleh Allah & rasulnya. Cuma kita
kurang mengetahui kelebihan yg dikurniakan kpd kita semua. Sehingga hari ini manusia Islam mencari sesuatu selain dari agama karena merasa pengorbanan mereka tidak dihargai. Dan mereka turut melaungkan persamaan hak seperti di barat. Ini semua bukanlah salah mereka...tetapi kitalah yg bersalah kerana kita lupa bahwa kita ini umat yg dianugerahi dgn tugas kenabian. Memberi harapan & bimbingan kpd manusia...

WANITA SOLEHAH SEBAGAI ANAK

Allah SWT telah berfirman yang maksudnya :
Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah selain kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapa mu. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah : Ya Rabbi, kasihanilah mereka kedua-duanya, sebagaimana mereka berdua telah menyantuni aku waktu kecil. Al Isra' 23-24

Allah memerintahkan agar manusia berbakti kepada kedua ibu bapa mereka dan mentaati mereka. Bagi wanita ketaatan mereka sebelum mereka menikah adalah kepada kedua ibu-bapa mereka dan selepas menikah, kepada suami mereka. Menyakiti hati keduanya adalah merupakan dosa yang amat besar. Ismail Ibnu Umayyah telah berkata :

Seorang lelaki meminta nasihat : Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat. Rasul menjawab Janganlah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, sekalipun engkau dibakar atau dibelah dua. Ia berkata Wahai Rasulullah, tambahkanlah. Rasulullah menjawab, Berbaktilah kepada kedua ibu-bapakmu, jangan sekali-kali engkau meninggikan suara di hadapannya. Jika keduanya memerintahkan engkau untuk mengeluarkan hartamu, maka keluarkanlah bagi keduanya. Lelaki itu meminta kembali : Wahai Rasulullah, tambah lagi selain itu. Rasulullah menjawab,Jangan engkau meminum khamar (arak), sebab khamar itu adalah kunci segala kejahatan. Lelaki itu meminta kembali, Wahai Rasulullah, tambahkanlah untukku selain itu. Rasulullah saw menjawab, Didiklah keluargamu dan berilah mereka nafkah sesuai dengan kemampuanmu, dan janganlah engkau mengangkat tongkat (lisan)mu namun berbuatlah agar mereka takut kepada Allah. HR Imam Ibnu Majah.

Adab anak terhadap kedua ibu-bapanya.
Berbuat baik dan berlemah lembut terhadap mereka.
Mentaati perintah mereka selagi tidak bertentangan dengan perintah Allah.
Melihat wajah mereka dengan kasih sayang merupakan ibadah.
Mendoakan mereka berdua dengan doa yang baik.
Menjaga hati mereka berdua dan menggembirakan mereka.
Menjalinkan silaturrahim dengan sahabat-sahabat mereka.
Menziarahi kubur ibu-bapa jika mereka telah meninggal dunia.

Wanita Yang Dimurkai Allah

PERKARA YG AMAT DIBENCI ALLAH PADA SEORANG WANITA
Kepada wanita yang tidak menutup aurat Allah berfirman, Hiduplah dengan apa yang kau suka. Allah melaknati wanita yang sengaja mendedahkan auratnya kepada lelaki yang bukan muhrim.
Perempuan yg memakai kain yang tipis + jarang, untuk menarik perhatian lelaki bukan muhrim atau memakai segala yg mendatangkan kegairahan kepada orang lain maka dia tidak akan mencium bau syurga. Wanita yg jahat lebih buruk dari 1000 org lelaki yg jahat.

WANITA YG DIMURKAI OLEH ALLAH

Sebagaimana Allah suka dgn wanita yg solehah, Allah juga sangat murka kpd beberapa jenis wanita. Oleh itu sangat perlu bagi kita mengetahui perkara yg dapat menyebabkan kebencianNya supaya kita terhindar dari kemurkaanNya. Kemurkaan Allah pada hari kiamat sangat dahsyat sehingga nabi2 pun sangat takut. Bahkan Nabi Ibrahim pun lupa bahwa dia mempunyai anak yg bernama Nabi Ismail karena ketakutan yg amat sangat.

Abu Zar r.a meriwayatkan bahawa Nabi s.a.w bersabda: Seorang wanita yg berkata kpd suaminya, semoga engkau mendapat kutukan Allah, maka dia dikutuk oleh Allah dari atas langit yg ke7, mengutuk pula segala sesuatu yg dicipta oleh Allah kecuali 2 jenis makhluk yaitu manusia & jin.

Abdul.Rahman bin Auf meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w bersabda:
Seorang yg membuat susah kpd suaminya dlm hal belanja atau membebani sesuatu yg suaminya tidak mampu maka Allah tidak akan menerima amalannya yg wajib & sunnatnya.

Abdullah bin Umar r.a meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w bersabda:
Kalau seandainya apa yg ada dibumi ini merupakan emas & perak serta dibawa
oleh seorang wanita kerumah suaminya. Kemudian pada suatu hari dia terlontar
kata2 angkuh, engkau ini siapa? Semua harta ini milikku, engkau tidak punya harta apapun, maka terhapuslah semua amal kebaikannya walaupun banyak.

Nabi s.a.w adalah seorang yg sangat kasih pada ummatnya, terlalu menginginkan keselamatan bagi kita dsri azab Allah. Beliau menghadapi segala rupa penderitaan, kesakitan ,keletihan & tekanan. Begitu juga air mata & darah baginda telah mengalir semata-mata krn kasih-sayangnya terhadap kita.

Maka lebih-lebih lagi kita sendirilah yg wajar berusaha untuk menyelamatkan diri kita, keluarga kita & seluruh ummat baginda. Sebagai penutup ikutilah kisah seterusnya ini sebagai ikhtibar bagi kita.

Ali r.a. meriwayatkan sebagai berikut:
Saya bersama Fatimah berkunjung kerumah Rasulullah & kami temui beliau
sedang menangis. Kami bertanya kpd beliau, mengapa tuan menangis wahai
Rasulullah? Beliau menjawab, pada malam aku di Isra'kan kelangit, aku melihat orang sedang mengalami berbagai penyiksaan...maka bila teringat mereka aku menangis.

Saya bertanya lagi, wahai Rasulullah apakah yg tuan lihat? Beliau bersabda: Wanita yg digantung dgn rambutnya & otak kepalanya mendidih. Wanita yg digantung dgn lidahnya serta tangannya dipaut dr punggungnya sedangkan aspal yg mendidih dari neraka dituangkan ke kerongkongnya. Wanita yg digantung dgn buah dadanya dari balik punggungnya sedangkan air getah kayu zakum dituang ke kerongkongannya. Wanita yg digantung, diikat kedua kaki & tangannya ke arah ubun2 kepalanya serta dibelit dibawah kekuasaan ular & kala jengking. Wanita yg memakan badannya sendiri serta dibawahnya tampak api yg menyala-nyala dgn hebatnya. Wanita yg memotong badannya sendiri dgn gunting dr neraka. Wanita yg bermuka
hitam & memakan ususnya sendiri. Wanita yg tuli, buta & bisu dlm peti neraka sedang darahnya mengalir dari rongga badannya (hidung,telinga,mulut) & badannya membusuk akibat penyakit kulit dan lepra. Wanita yg berkepala spt kepala babi & keledai yg mendapat berjuta jenis siksaan.

Maka berdirilah Fatimah seraya berkata, Wahai ayahku, cahaya mata kesayanganku... ceritakanlah kpd ku apakah amal perbuatan wanita2 itu.
Rasulullah s.a.w bersabda, Wahai Fatimah, adapun tentang : Wanita yg digantung dgn rambutnya krn dia tidak menjaga rambutnya (dijilbab) dikalangan lelaki.
Wanita yg digantung dgn lidahnya krn dia menyakiti hati suaminya dgn
kata-katanya. Kemudian Nabi s.a.w bersabda: Tidak seorang wanita yg menyakiti hati suaminya melalui kata-katanya kecuali Allah akan membuatnya mulutnya kelak dihari kiamat, selebar 70 zira' kemudian akan mengikatnya dibelakang lehernya.
Adapun wanita yg digantung dgn buah dadanya krn dia menyusui anak org lain
tanpa izin suaminya. Adapun wanita yg diikat dgn kaki & tangannya itu krn dia keluar rumah
tanpa izin suaminya, tidak mandi wajib dr haidh & nifas. Adapun wanita yg memakan badannya sendiri krn suka bersolek utk dilihat lelaki lain serta suka membicarakan aib orang lain.
Adapun wanita yg memotong badannya sendiri dgn gunting dari neraka karena
dia suka menonjolkan diri (ingin terkenal) dikalangan org yg banyak dgn maksud supaya org melihat perhiasannya dan setiap org jatuh cinta padanya krn melihat perhisannya.
Adapun wanita yg diikat kedua kaki & tangannya sampai ke ubun2nya & dibelit oleh ular & kala jengking krn dia mampu mengerjakan solat & puasa, tetapi dia tidak mau berwudhu & tidak sholat serta tidak mau mandi wajib.
Adapun wanita yg kepalanya spt kepala babi & badannya spt keledai krn dia
suka mengadu-domba (melaga-lagakan org) serta berdusta. Adapun wanita yg berbentuk spt anjing krn dia ahli fitnah serta suka marah-marah pada suaminya.

Dan ada diantara isteri nabi2 yg mati dlm keadaan tidak beriman karena mempunyai sifat yang buruk. Walaupun mereka adalah isteri manusia yang terbaik dizaman itu. Diantara sifat buruk mereka: Isteri Nabi Nuh suka mengejek & mengutuk suaminya. Isteri nabi Lut suka bertandang ke rumah orang lain.

Semoga Allah beri kita kekuatan untuk mengamalkan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Kalau kita tidak merasa takut atau merasa perlu berubah... maka kita akan khawatir . Takut kita tergolong dalam mereka yg tidak diberi petunjuk oleh Allah. Nauzubillahi min zalik.

Katakanlah kepada wanita yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera suadara perempuan mereka atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukul kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(QS: 24:31)


Ayat Of The Day:

Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).(Al-Quran, Surat AlIsraa 17:72)

dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.(Al-Quran, Surat AnNahl 16:13)